Minggu, 10 Januari 2010

keadilan dalam arti kesebandingan 2

BAB I

PENDAHULUAN

A.Pengertian

Banyak definisi Sarjana yang membahas masalah apa pengertian hukum, salah satunya adalah Plato mengatakan : “ Hukum adalah Sistem aturan Positif yang terorganisir atau terformulasi, mengikat pada keseluruhan individu dalam negara”
Selanjutnya menurut Plato :
Hukum merupakan hasil pengolahan pikiran – pikiran manusia dalam cara – cara yang masuk akal, dengan kata lain hukum adalah logismos atau reasoned thought (pikiran yang masuk akal) yang dirumuskan dalam putusan negara. Beliau menolak otoritas hukum bertumpu semata – mata pada kemauan dan kehendak “governing power” (pihak yang memanku kekuasaan) Sedemikian kompleknya masalah yang diatur dalam hukum sehingga definisi tentang hukum sangat sulit untuk mencari yang sempurna, sehingga Immanuel Kant mengatakan: “ Sampai kapanpun tidak akan dapat ditemukan definisi tentang hukum karena apa yang terkandung didalamnya sangat luas dan komplek”.
Akan tetapi dapat dipedomani Hukum itu adalah Aturan yang mengatur pola perilaku dalam masyarakat dan apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi. Aturan yang berlaku dalam masayarakat sangat erat dengan sanksi apabila dilanggar. Semakin tegas sanksi yang akan diberlakukan kepada orang yang melanggar aturan maka hukum akan semakin dipatuhi. Selain karena sanksi hukum juga dapat berlaku efektif dalam masyarakat apabila “kesadaran hukum” sudah tinggi, sehingga hukum dipatuhi bukan hanya takut dengan sanksi yang akan diberikan akan tetapi memang hukum dibutuhkan untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat.

Berbicara masalah hukum tidak terlepas dari Nilai Rasa Keadilan, sehingga hukum dilambangkan sebagai suatu timbangan yang dimaknai merupakan keselarasan dalam masayarakat, apabila terjadi ketimpangan akan menimbulkan kegoncangan, untuk itu diperlukan langkah – langkah dari aparat penegak hukum untuk memulihkan keadaan sehingga keselerasan dapat dicapai kembali. Ketika seseorang merasa haknya dilanggar oleh orang lain, untuk mencari keadilan atas persoalan yang dihadapinya maka hukumlah yang menjadi solusi terhadap permasalahannya. Hukum bertugas untuk memberi rasa keadilan dalam masyarakat Keadilan merupakan cita – cita yang akan dicapai dalam penegakan hukum, tentunya ketika sudah mengalami proses hukum sulit untuk mencari keadilan yang akan diterima oleh pihak – pihak yang berurusan dengan hukum. Semua pihak merasa dirinya yang paling benar, dan mempertahankan egonya masing – masing, akan tetapi aparat penegak hukum akan menilai dari fakta – fakta yang terbukti dalam menyelesaikan persoalan – persoalan hukum. Nilai rasa keadilan tidak universal, akan tetapi keadilan terikat pada ruang dan waktu, belum tentu adil pada saat sekarang akan adil dikemudian hari atau adil disuatu tempat akan adil ditempat yang berbeda. Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam hal nilai rasa keadilan, kultural, sosial, budaya, lingkungan, pengetahuan dll Keadilan merupakan dambaan bagi semua orang, akan tetapi kita akan bertanya sudahkah hukum memberikan nilai rasa adil dalam masyarakat terutama terhadap orang – orang yang merasa haknya dilanggar, bagaimana mencapai rasa adil, apakah keadilan sudah berpihak kepada yang lemah, bagaimana keadilan bisa menggapai terhadap orang yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat.



B.Permasalahan

Dalam penulisan makalah ini penulis mencoba mengangkat masalah “Seorang wanita yang di hukum karena menebang pohon di tanahnya sendiri”.


BAB II
PEMBAHASAN

C. Keadilan Dalam Arti Kesebandingan

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum, tujuan hukum tidak hanya keadilan akan tetapi kepastian dan kemanfaatan juga merupakan tujuan hukum. Idealnya hukum harus mengakomodasikan antara keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Diantara ketiga tujuan hukum keadilan merupakan tujuan yang paling penting.
Menurut Bismar Siregar yang dikutif oleh Muhammad Erwin, SH. M. Hum dan Amrullah Arpan, SH, SU : “ Bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu, hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan” Keadilan dalam cita hukum yang merupakan pergulatan kemanusiaan berevolusi mengikuti ritme zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang tanpa henti dan akan terus berlanjut sampai manusia tidak beraktifitas lagi.
Manusia dalam semua perbuatannya akan selalu mengejar sesuatu yang baik, sesuatu yang dikejar atau dituju oleh kehidupan manusia. Perbuatan manusia merupakan ekspresi dari bisikan – bisikan qalbu. Seluruh sifat yang muncul dari hati dan terekpresikan anggota tubuh, sehingga hati adalah pemegang kendali dan anggota tubuh tunduk padanya, sehingga tidak ada perbuatan anggota tubuh kecuali atas tanda – tanda dari hati. Jika hati suci maka perbuatan akan baik. Perbuatan manusia akan bernilai jika poerbuatan tersebut baik dan bermanfaat yang lahir dari bisikan hati yang suci, sehingga dengan demikian nilai merupakan suatu prinsip etik yang bermutu tinggi dengan pedoman bahwa keberadaan manusia itu harus memperhatikan kewajibannya untuk bertanggung jawab terhadap sesamanya.

Dalam alam pikiran kuno, Filsuf Yunani ( abad ke VI dan V SM ) memandang manusia adalah bagian dari semesta alam, hal – hal muncul dan lenyap menurut suatu keharusan alamiah, demikian yang terjadi dengan hidup manusia, keharusan alam dan hidup kurang dimengerti manusia, tetapi jelas baginya bahwa keteraturan hidup bersama harus disesuaikan dengan keharusan alamiah. Bila itu terjadi timbullah keadilan. Hidup manusia harus sesuai dengan keteraturan alamiah / tetapi padanya keharusan alamiah telah digabungkan juga dengan pengertian – pengertian yang berasal dari logos ( budi ) membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu keteraturan yang terang dan tetap Kaum Sufis yang memulai kegiatannya pada abad V SM, memiliki pandangan berbeda dengan para filusf yunani, dengan memandang warga negara seluruhnyalah yang menentukan isi undang – undang, sehingga baik dan adil tidak tergantung pada aturan alam, melainkan hanya keputusan manusia dimana manusia adalah ukuran segala – galanya. Manusia sebagai sumber satu-satunya yang menentukan apa yang baik dan apa yang adil, tetapi hal itu tidaklah berarti semua manusia (semua warga negara) yang menentukan isi undang – undang negara, hanyalah orang – orang yang berkuasa. Apabila terjadi seperti ini maka besar kemungkinan terjadi kesewenang – wenangan karena orang – orang yang berkuasa akan membuat undang – undang yang melindungi kepentingannya, kecuali jika orang – orang yang berkuasa memiliki kesadaran hukum/ integrasi moral yang tinggi dengan lebih mengutamakan kepentingan orang banyak.
Walaupun keutamaan yang tertinggi adalah ketaatan kepada hukum negara baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis namun keutamaan itu menurut Socrates (469 – 399 SM) tidak buta melainkan didasarkan atas pengetahuan intuitif tentang yang baik dan yang benar yang ada dalam diri semua manusia. Pengetahuan ini disebut theoria, semacam roh illahi dalam tiap manusia yang merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Untuk sampai pada pengetahuan seperti itu adalah melalui refleksi atas diri sendiri.
Plato (427 – 347 SM) yang menggarkan keadilan pada jiwa manusia membandingkannya dengan kehidupan negara, mengemukakan bahwa jiwa manusia terdiri atas tiga bagian, yaitu pikiran (logistikon), perasaan dan nafsu baik psikis maupun jasmani (epithumatikon), rasa baik dan jahat (thumoendes). Jiwa itu teratur secara baik bila dihasilkan suatu kesatuan yang harmonis antara ketiga bagian itu. Hal ini bila perasaan dan nafsu dikendalikan dan ditundukkan pada akal budi melalui rasa baik dan jahat. Keadilan terletak dalam batas yang seimbang antara ketiga bagian jiwa sesuai wujudnya masing – masing. Seperti halnya jiwa manusia, negarapun harus diatur secara seimbang menuntut bagian- bagiannya, yaitu kelas orang – orang yang mempunyai kebijaksanaan (kelas filsuf), kelas kedua adalah orang – orang yang mempunyai keberanian (kelas tentara), kelas ketiga yaitu para tukang dan petani ( yang memiliki pengendalian diri) yang harus memelihara ekonomi masyarakat ( kelas ini tidak mempunyai peranan dalam negara). Setiap golongan berbuat apa yang sesuai dengan tempatnya dan tugas – tugasnya, itulah keadilan.
Manusia menurut Plato hanya dapat berkembang dan mencapai kebahagiaan melalui negara, mengingat negara melebihi individu – individu dan menjadi tujuan semua kegiatannya. Oleh karena manusia hanya dapat berkembang dalam negara atau melalui negara, maka keutamaan yang tertinggi manusia adalah ketaatan terhadap hukum negara baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam mengartikan keadilan, Plato sangat dipengaruhi oleh cita – cita kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonisdengan berbagai organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya Aristoteles (384 – 322 SM) memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pemikiran hukum dan keadilan, dengan menggolongkan keadilan kedalam keadilan distributif dan keadilan kolektif. Keadilan distributif mwenyangkut soal pembagian barang – barang dan kehormatan kepada masing – masing orang sesuai dengan tempatnya dalam masyarakat, sedangkan keadilan korektif memberikan ukuran untuk menjalankan hukum sehari – hari. Dalam menjalankan hukum sehari – hari harus ada standar yang umum guna memulihkan konsekuensi dari suatu tindakan yang dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain. Aristoteles juga menyatakan keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Disini ditujukkan bahwa sesorang dikatakan berlakuk tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil. Hakekat hukum bertumpu pada idea keadilan dan kekuatan moral. Idea keadilan tidak pernah lepas dari kaitan hukum, sebab membicarakan hukum jelas atau samar – samar senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan. Bagaimanakah hubungan antara keadilan dengan kepastian hukum. Kepastian memiliki arti “ketentuan ; ketetapan, sedangkan jika kata kepastian digabungkan dengan kata hukum, memiliki arti “ perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara”.

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerdjono Soekanto mengemukakan tujuh pasangan nilai pokok yang terdapat dalam eksistensi hukum untuk dicapai atau diwujudkan keserasiannya melalui manifestasi hukum sebagai berikut :
1. Pasangan antara kesadaran penguasa dan warga masayarakat akan makna dan hakekat hukum; keserasiannya dapat menjadi sumber keadilan, kedamaian, kesejahteraan, rohaniah dan jasmaniah, sebagai tujuan akhir hukum.
2. Pasangan antara kejasmanian (aspek lahir) dan kerohanian ( aspek batin); keserasiannya pasa dasarnya mengahsilkan atau mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual.Pasangan antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum; keserasiannya mengahasilkan keadilan
3. .Pasangan antara keketatan hukum dan keluwesan hukum; keserasiannya akan mengahasilkan kewibawaan hukum.
4. Pasangan antara kebebasan dan ketertiban; keserasiannya menghasilkan kedamaian.Pasangan antara proteksi hukum dan restriksi hukum ; keserasiannya akan menghasilkan kemantapan.
5. Pasangan antara kebaruan dan kelestarian ;keserasiannya menghasilkan perkembangan kualitatif dan kuantitatif.


Antara Kepastian dengan keadilan memiliki makna yang berbeda, kata kepastian hukum konotasinya lebih erat dengan kekuasaan negara dalam menjamin hak dan kewajiban terutama dalam hal hukum. Setiap warga negara mendapat persamaan di muka hukum. Hal ini dikenal dengan azas “ Equality before the law”. Hukum tidak membedakan kedudukan seseorang dalam penegakan hukum, bahkan ada adegium yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah” Negara dalam mewujudkan kepastian hukum mengeluarkan produk berupa peraturan perundangan, yang dijadikan landasan berpijak bagi aparat penegak hukum untuk mengatur para warga negaranya. Apabila melanggar peraturan perundangan jelas sudah melanggar hukum Sedangkan apabila kita membicarakan masalah keadilan jelas sekali ini membicarakan nilai yang hidup dalam masyarakat, dan kadang kala nilai tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangan dalam suatu negara akan tetapi nilai tersebut dipatuhi dalam kehidupan sehari – hari di masyarakat
. Contoh kasus yang pernah terjadi “ Ada seorang perempuan berumur 67 tahun bernama : Siti Sariu, alamat Pendopo Kecamatan Talang Ubi Kabupaten Muara Enim, Pada tahun 1952 membeli sebidang tanah dengan Tn. Abdullah tanpa bukti surat menyurat, hanya modal kepercayaan saja. Sebagian Kebun sudah dijual kepada orang lain yang masih luasnya sekitar 42 x 100. Diatas lahan tersebut ada beberapa batang karet yang tidak beraturan, karena merasa lahan miliknya dan akan dipergunakan maka bersama dengan anaknya membersihkan lahan dan menebang batang karet sebanyak 7 batang. Oleh Tetangga sebelah kebun tindakan itu dilaporkan ke Polisi membuat ibu Siti Sariu dan Anaknya menjadi Terdakwa. Dan dalam persidangan hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 170 Kitab Undang – undang Hukum Pidana dan dijatuhi, 3,5 bulan dan anaknya dijatuhi 5 bulan”. Tentunya kasus seperti ini membuat pencari keadilan menjerit, bagaimana mungkin seseorang yang menebang batang karet diatas lahannya bisa dihukum, bukannya yang melakukan pelanggaran hukum adalah orang yang menanam batang karet diatas lahan orang lain. Pada waktu persidangan diajukan bukti – bukti dari para tetangga tanah terkecuali pelapor surat pernyataan diketahui Kepala Desa dan Camat, dan juga diajukan saksi – saksi yang menyatakan bahwa tanah tersebut merupakan milik terdakwa. Akan tetapi yang menurut penulis aneh majelisnya berpendapat bahwa persoalan berbeda yang dipersoalkan bukan kepemilikan tanah akan tetapi penebangan batang karet, karena dalam persidangan terbukti terdakwa tidak menanam karet. Sehingga kalau bicara kepemilikan harus melalui pengadilan negeri perdata yang berwenang untuk itu. Akibat putusan itu Jaksa langsung mengeksekusi terdakwa dan menahannya di Lembaga Pemasyarakatan Muara Enim meskipun Penasehat Hukumnya mengajukan banding Karena banyak masyarakat yang bersimpati dengan nasib yang dialami oleh ibu Siti Sariu maka untuk pertama kalinya di Pengadilan Negeri Muara Enim dan Kejaksaan Negeri Muara Enim, didemo oleh masyarakat Pendopo lebih kurang sekitar 800 massa meminta membebaskan ibu Siti Sariu. Akhirnya dicarikan solusi Penasehat hukumnya disuruh mencabut pernyataan banding supaya kewenangan beralih ke Pengadilan Negeri dan terdakwa mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden, sehingga pengadilan negeri bisa mengambil kebijaksanaan eksekusi ditangguhkan sampai keluarnya jawaban atas pengajuan grasi Apabila kita mencari keadilan dalam penegakan hukum hal ini tidak akan terjadi para aparat penegak hukum bukan hanya menjadi corong dari undang – undang, akan tetapi juga harus memperhatikan nilai yang hidup dalam masyarakat, bukankah dalam Undang – undang dasar 1945 di jelaskan disamping hukum ynag tertulis berlaku juga hukum yang tidak tertulis, dan dalam Undang – undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Hakim harus memperhatikan nilai yang hidup dalam masyarakat dalam menjatuhkan putusan Sehingga benarnya suatu kiasan “Sebaik – sebaiknya aturan dibuat akan tetapi pelaksanaannya tergantung pada aparat penegak hukum untuk melaksanakannya”. Kita memerlukan aparat – aparat penegak hukum yang bukan hanya sebagai corong undang – undang akan tetapi para aparat penegak hukum yang mampu menggali nilai rasa keadilan dalam masyarakat.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Antara Kepastian dengan Keadilan mempunyai keterkaitan, bahkan menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerdjono Soekanto “Pasangan antara Kepastian Hukum dan Kesebandingan Hukum keserasiannya menghasilkan keadilan”. Berbicara mengenai keadilan merupakan nilai yang hidup di dalam masyarakat, sedangkan kepastian hukum lebih menitik beratkan pada peraturan perundangan. Kadangkala antara nilai yang hidup dalam masyarakat dengan ketentuan peraturan perundangan saling bertentangan. Contoh dalam kepemillikan tanah Undang – undang menghendaki masyarakat memiki sertifikat sedangkan faktanya banyak warga yang tidak memiliki surat karena kepemikan tanah didapat secara turun – temurun. Bagaimana mengatasi hal yang demikian apakah kita akan lebih mengedapankan kepastian dengan hanya melihat pada bukti sertifikat atau akan mengedepankan keadilan dengan mengakui siapa pemilik tanah yang sebenarnya. Untuk mengatasi antara kepastian dengan keadilan perlu pemikiran dan tindakan bijak dari aparat penegak hukum sehingga keduanya bisa selaras dan seimbang dalam kehidupan di masyarakat
2. Saran
Dalam makalah ini masih ada kesalahan-kesalahan dan kekurangan kekurangan yang harus di perbaiki. Untuk itu penulis masih membutuhkan saran-saran ataupun kritika-kritikan yang dapat membangun kepada pembuatan makalah yang lebih baik



DAFTAR PUSTAKA

Bakir, Herman, Filasafat Hukum “ Desain dan Arsitektur Kesejarahan” Cetakan Pertama : PT. Refika Aditama, Bandung, 2007.

Darmodihardjo, Darji dan Shidarta, Pokok – Pokok Filsafart Hukum “ Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia”, Cetakan ke enam : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.

Filsafat Hukum “ Renungan Untuk Mencerahkan Kehidupan Manusia di bawah Sinar Keadilan “. Cetakan Pertama, Universitas Sriwijaya, Palembang, 2007.

Rahardjo, Satjipto, Sisi – sisi lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua : Kompas, Jakarta, 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar