Minggu, 10 Januari 2010

keadilan dalam arti kesebandingan 2

BAB I

PENDAHULUAN

A.Pengertian

Banyak definisi Sarjana yang membahas masalah apa pengertian hukum, salah satunya adalah Plato mengatakan : “ Hukum adalah Sistem aturan Positif yang terorganisir atau terformulasi, mengikat pada keseluruhan individu dalam negara”
Selanjutnya menurut Plato :
Hukum merupakan hasil pengolahan pikiran – pikiran manusia dalam cara – cara yang masuk akal, dengan kata lain hukum adalah logismos atau reasoned thought (pikiran yang masuk akal) yang dirumuskan dalam putusan negara. Beliau menolak otoritas hukum bertumpu semata – mata pada kemauan dan kehendak “governing power” (pihak yang memanku kekuasaan) Sedemikian kompleknya masalah yang diatur dalam hukum sehingga definisi tentang hukum sangat sulit untuk mencari yang sempurna, sehingga Immanuel Kant mengatakan: “ Sampai kapanpun tidak akan dapat ditemukan definisi tentang hukum karena apa yang terkandung didalamnya sangat luas dan komplek”.
Akan tetapi dapat dipedomani Hukum itu adalah Aturan yang mengatur pola perilaku dalam masyarakat dan apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi. Aturan yang berlaku dalam masayarakat sangat erat dengan sanksi apabila dilanggar. Semakin tegas sanksi yang akan diberlakukan kepada orang yang melanggar aturan maka hukum akan semakin dipatuhi. Selain karena sanksi hukum juga dapat berlaku efektif dalam masyarakat apabila “kesadaran hukum” sudah tinggi, sehingga hukum dipatuhi bukan hanya takut dengan sanksi yang akan diberikan akan tetapi memang hukum dibutuhkan untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat.

Berbicara masalah hukum tidak terlepas dari Nilai Rasa Keadilan, sehingga hukum dilambangkan sebagai suatu timbangan yang dimaknai merupakan keselarasan dalam masayarakat, apabila terjadi ketimpangan akan menimbulkan kegoncangan, untuk itu diperlukan langkah – langkah dari aparat penegak hukum untuk memulihkan keadaan sehingga keselerasan dapat dicapai kembali. Ketika seseorang merasa haknya dilanggar oleh orang lain, untuk mencari keadilan atas persoalan yang dihadapinya maka hukumlah yang menjadi solusi terhadap permasalahannya. Hukum bertugas untuk memberi rasa keadilan dalam masyarakat Keadilan merupakan cita – cita yang akan dicapai dalam penegakan hukum, tentunya ketika sudah mengalami proses hukum sulit untuk mencari keadilan yang akan diterima oleh pihak – pihak yang berurusan dengan hukum. Semua pihak merasa dirinya yang paling benar, dan mempertahankan egonya masing – masing, akan tetapi aparat penegak hukum akan menilai dari fakta – fakta yang terbukti dalam menyelesaikan persoalan – persoalan hukum. Nilai rasa keadilan tidak universal, akan tetapi keadilan terikat pada ruang dan waktu, belum tentu adil pada saat sekarang akan adil dikemudian hari atau adil disuatu tempat akan adil ditempat yang berbeda. Banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam hal nilai rasa keadilan, kultural, sosial, budaya, lingkungan, pengetahuan dll Keadilan merupakan dambaan bagi semua orang, akan tetapi kita akan bertanya sudahkah hukum memberikan nilai rasa adil dalam masyarakat terutama terhadap orang – orang yang merasa haknya dilanggar, bagaimana mencapai rasa adil, apakah keadilan sudah berpihak kepada yang lemah, bagaimana keadilan bisa menggapai terhadap orang yang mempunyai pengaruh dalam masyarakat.



B.Permasalahan

Dalam penulisan makalah ini penulis mencoba mengangkat masalah “Seorang wanita yang di hukum karena menebang pohon di tanahnya sendiri”.


BAB II
PEMBAHASAN

C. Keadilan Dalam Arti Kesebandingan

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum, tujuan hukum tidak hanya keadilan akan tetapi kepastian dan kemanfaatan juga merupakan tujuan hukum. Idealnya hukum harus mengakomodasikan antara keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Diantara ketiga tujuan hukum keadilan merupakan tujuan yang paling penting.
Menurut Bismar Siregar yang dikutif oleh Muhammad Erwin, SH. M. Hum dan Amrullah Arpan, SH, SU : “ Bila untuk menegakkan keadilan saya korbankan kepastian hukum, akan saya korbankan hukum itu, hukum hanya sarana, sedangkan tujuannya adalah keadilan” Keadilan dalam cita hukum yang merupakan pergulatan kemanusiaan berevolusi mengikuti ritme zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang tanpa henti dan akan terus berlanjut sampai manusia tidak beraktifitas lagi.
Manusia dalam semua perbuatannya akan selalu mengejar sesuatu yang baik, sesuatu yang dikejar atau dituju oleh kehidupan manusia. Perbuatan manusia merupakan ekspresi dari bisikan – bisikan qalbu. Seluruh sifat yang muncul dari hati dan terekpresikan anggota tubuh, sehingga hati adalah pemegang kendali dan anggota tubuh tunduk padanya, sehingga tidak ada perbuatan anggota tubuh kecuali atas tanda – tanda dari hati. Jika hati suci maka perbuatan akan baik. Perbuatan manusia akan bernilai jika poerbuatan tersebut baik dan bermanfaat yang lahir dari bisikan hati yang suci, sehingga dengan demikian nilai merupakan suatu prinsip etik yang bermutu tinggi dengan pedoman bahwa keberadaan manusia itu harus memperhatikan kewajibannya untuk bertanggung jawab terhadap sesamanya.

Dalam alam pikiran kuno, Filsuf Yunani ( abad ke VI dan V SM ) memandang manusia adalah bagian dari semesta alam, hal – hal muncul dan lenyap menurut suatu keharusan alamiah, demikian yang terjadi dengan hidup manusia, keharusan alam dan hidup kurang dimengerti manusia, tetapi jelas baginya bahwa keteraturan hidup bersama harus disesuaikan dengan keharusan alamiah. Bila itu terjadi timbullah keadilan. Hidup manusia harus sesuai dengan keteraturan alamiah / tetapi padanya keharusan alamiah telah digabungkan juga dengan pengertian – pengertian yang berasal dari logos ( budi ) membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu keteraturan yang terang dan tetap Kaum Sufis yang memulai kegiatannya pada abad V SM, memiliki pandangan berbeda dengan para filusf yunani, dengan memandang warga negara seluruhnyalah yang menentukan isi undang – undang, sehingga baik dan adil tidak tergantung pada aturan alam, melainkan hanya keputusan manusia dimana manusia adalah ukuran segala – galanya. Manusia sebagai sumber satu-satunya yang menentukan apa yang baik dan apa yang adil, tetapi hal itu tidaklah berarti semua manusia (semua warga negara) yang menentukan isi undang – undang negara, hanyalah orang – orang yang berkuasa. Apabila terjadi seperti ini maka besar kemungkinan terjadi kesewenang – wenangan karena orang – orang yang berkuasa akan membuat undang – undang yang melindungi kepentingannya, kecuali jika orang – orang yang berkuasa memiliki kesadaran hukum/ integrasi moral yang tinggi dengan lebih mengutamakan kepentingan orang banyak.
Walaupun keutamaan yang tertinggi adalah ketaatan kepada hukum negara baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis namun keutamaan itu menurut Socrates (469 – 399 SM) tidak buta melainkan didasarkan atas pengetahuan intuitif tentang yang baik dan yang benar yang ada dalam diri semua manusia. Pengetahuan ini disebut theoria, semacam roh illahi dalam tiap manusia yang merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Untuk sampai pada pengetahuan seperti itu adalah melalui refleksi atas diri sendiri.
Plato (427 – 347 SM) yang menggarkan keadilan pada jiwa manusia membandingkannya dengan kehidupan negara, mengemukakan bahwa jiwa manusia terdiri atas tiga bagian, yaitu pikiran (logistikon), perasaan dan nafsu baik psikis maupun jasmani (epithumatikon), rasa baik dan jahat (thumoendes). Jiwa itu teratur secara baik bila dihasilkan suatu kesatuan yang harmonis antara ketiga bagian itu. Hal ini bila perasaan dan nafsu dikendalikan dan ditundukkan pada akal budi melalui rasa baik dan jahat. Keadilan terletak dalam batas yang seimbang antara ketiga bagian jiwa sesuai wujudnya masing – masing. Seperti halnya jiwa manusia, negarapun harus diatur secara seimbang menuntut bagian- bagiannya, yaitu kelas orang – orang yang mempunyai kebijaksanaan (kelas filsuf), kelas kedua adalah orang – orang yang mempunyai keberanian (kelas tentara), kelas ketiga yaitu para tukang dan petani ( yang memiliki pengendalian diri) yang harus memelihara ekonomi masyarakat ( kelas ini tidak mempunyai peranan dalam negara). Setiap golongan berbuat apa yang sesuai dengan tempatnya dan tugas – tugasnya, itulah keadilan.
Manusia menurut Plato hanya dapat berkembang dan mencapai kebahagiaan melalui negara, mengingat negara melebihi individu – individu dan menjadi tujuan semua kegiatannya. Oleh karena manusia hanya dapat berkembang dalam negara atau melalui negara, maka keutamaan yang tertinggi manusia adalah ketaatan terhadap hukum negara baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam mengartikan keadilan, Plato sangat dipengaruhi oleh cita – cita kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonisdengan berbagai organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya Aristoteles (384 – 322 SM) memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pemikiran hukum dan keadilan, dengan menggolongkan keadilan kedalam keadilan distributif dan keadilan kolektif. Keadilan distributif mwenyangkut soal pembagian barang – barang dan kehormatan kepada masing – masing orang sesuai dengan tempatnya dalam masyarakat, sedangkan keadilan korektif memberikan ukuran untuk menjalankan hukum sehari – hari. Dalam menjalankan hukum sehari – hari harus ada standar yang umum guna memulihkan konsekuensi dari suatu tindakan yang dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain. Aristoteles juga menyatakan keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Disini ditujukkan bahwa sesorang dikatakan berlakuk tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil. Hakekat hukum bertumpu pada idea keadilan dan kekuatan moral. Idea keadilan tidak pernah lepas dari kaitan hukum, sebab membicarakan hukum jelas atau samar – samar senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan. Bagaimanakah hubungan antara keadilan dengan kepastian hukum. Kepastian memiliki arti “ketentuan ; ketetapan, sedangkan jika kata kepastian digabungkan dengan kata hukum, memiliki arti “ perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara”.

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerdjono Soekanto mengemukakan tujuh pasangan nilai pokok yang terdapat dalam eksistensi hukum untuk dicapai atau diwujudkan keserasiannya melalui manifestasi hukum sebagai berikut :
1. Pasangan antara kesadaran penguasa dan warga masayarakat akan makna dan hakekat hukum; keserasiannya dapat menjadi sumber keadilan, kedamaian, kesejahteraan, rohaniah dan jasmaniah, sebagai tujuan akhir hukum.
2. Pasangan antara kejasmanian (aspek lahir) dan kerohanian ( aspek batin); keserasiannya pasa dasarnya mengahsilkan atau mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual.Pasangan antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum; keserasiannya mengahasilkan keadilan
3. .Pasangan antara keketatan hukum dan keluwesan hukum; keserasiannya akan mengahasilkan kewibawaan hukum.
4. Pasangan antara kebebasan dan ketertiban; keserasiannya menghasilkan kedamaian.Pasangan antara proteksi hukum dan restriksi hukum ; keserasiannya akan menghasilkan kemantapan.
5. Pasangan antara kebaruan dan kelestarian ;keserasiannya menghasilkan perkembangan kualitatif dan kuantitatif.


Antara Kepastian dengan keadilan memiliki makna yang berbeda, kata kepastian hukum konotasinya lebih erat dengan kekuasaan negara dalam menjamin hak dan kewajiban terutama dalam hal hukum. Setiap warga negara mendapat persamaan di muka hukum. Hal ini dikenal dengan azas “ Equality before the law”. Hukum tidak membedakan kedudukan seseorang dalam penegakan hukum, bahkan ada adegium yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah” Negara dalam mewujudkan kepastian hukum mengeluarkan produk berupa peraturan perundangan, yang dijadikan landasan berpijak bagi aparat penegak hukum untuk mengatur para warga negaranya. Apabila melanggar peraturan perundangan jelas sudah melanggar hukum Sedangkan apabila kita membicarakan masalah keadilan jelas sekali ini membicarakan nilai yang hidup dalam masyarakat, dan kadang kala nilai tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangan dalam suatu negara akan tetapi nilai tersebut dipatuhi dalam kehidupan sehari – hari di masyarakat
. Contoh kasus yang pernah terjadi “ Ada seorang perempuan berumur 67 tahun bernama : Siti Sariu, alamat Pendopo Kecamatan Talang Ubi Kabupaten Muara Enim, Pada tahun 1952 membeli sebidang tanah dengan Tn. Abdullah tanpa bukti surat menyurat, hanya modal kepercayaan saja. Sebagian Kebun sudah dijual kepada orang lain yang masih luasnya sekitar 42 x 100. Diatas lahan tersebut ada beberapa batang karet yang tidak beraturan, karena merasa lahan miliknya dan akan dipergunakan maka bersama dengan anaknya membersihkan lahan dan menebang batang karet sebanyak 7 batang. Oleh Tetangga sebelah kebun tindakan itu dilaporkan ke Polisi membuat ibu Siti Sariu dan Anaknya menjadi Terdakwa. Dan dalam persidangan hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 170 Kitab Undang – undang Hukum Pidana dan dijatuhi, 3,5 bulan dan anaknya dijatuhi 5 bulan”. Tentunya kasus seperti ini membuat pencari keadilan menjerit, bagaimana mungkin seseorang yang menebang batang karet diatas lahannya bisa dihukum, bukannya yang melakukan pelanggaran hukum adalah orang yang menanam batang karet diatas lahan orang lain. Pada waktu persidangan diajukan bukti – bukti dari para tetangga tanah terkecuali pelapor surat pernyataan diketahui Kepala Desa dan Camat, dan juga diajukan saksi – saksi yang menyatakan bahwa tanah tersebut merupakan milik terdakwa. Akan tetapi yang menurut penulis aneh majelisnya berpendapat bahwa persoalan berbeda yang dipersoalkan bukan kepemilikan tanah akan tetapi penebangan batang karet, karena dalam persidangan terbukti terdakwa tidak menanam karet. Sehingga kalau bicara kepemilikan harus melalui pengadilan negeri perdata yang berwenang untuk itu. Akibat putusan itu Jaksa langsung mengeksekusi terdakwa dan menahannya di Lembaga Pemasyarakatan Muara Enim meskipun Penasehat Hukumnya mengajukan banding Karena banyak masyarakat yang bersimpati dengan nasib yang dialami oleh ibu Siti Sariu maka untuk pertama kalinya di Pengadilan Negeri Muara Enim dan Kejaksaan Negeri Muara Enim, didemo oleh masyarakat Pendopo lebih kurang sekitar 800 massa meminta membebaskan ibu Siti Sariu. Akhirnya dicarikan solusi Penasehat hukumnya disuruh mencabut pernyataan banding supaya kewenangan beralih ke Pengadilan Negeri dan terdakwa mengajukan permohonan Grasi kepada Presiden, sehingga pengadilan negeri bisa mengambil kebijaksanaan eksekusi ditangguhkan sampai keluarnya jawaban atas pengajuan grasi Apabila kita mencari keadilan dalam penegakan hukum hal ini tidak akan terjadi para aparat penegak hukum bukan hanya menjadi corong dari undang – undang, akan tetapi juga harus memperhatikan nilai yang hidup dalam masyarakat, bukankah dalam Undang – undang dasar 1945 di jelaskan disamping hukum ynag tertulis berlaku juga hukum yang tidak tertulis, dan dalam Undang – undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Hakim harus memperhatikan nilai yang hidup dalam masyarakat dalam menjatuhkan putusan Sehingga benarnya suatu kiasan “Sebaik – sebaiknya aturan dibuat akan tetapi pelaksanaannya tergantung pada aparat penegak hukum untuk melaksanakannya”. Kita memerlukan aparat – aparat penegak hukum yang bukan hanya sebagai corong undang – undang akan tetapi para aparat penegak hukum yang mampu menggali nilai rasa keadilan dalam masyarakat.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Antara Kepastian dengan Keadilan mempunyai keterkaitan, bahkan menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerdjono Soekanto “Pasangan antara Kepastian Hukum dan Kesebandingan Hukum keserasiannya menghasilkan keadilan”. Berbicara mengenai keadilan merupakan nilai yang hidup di dalam masyarakat, sedangkan kepastian hukum lebih menitik beratkan pada peraturan perundangan. Kadangkala antara nilai yang hidup dalam masyarakat dengan ketentuan peraturan perundangan saling bertentangan. Contoh dalam kepemillikan tanah Undang – undang menghendaki masyarakat memiki sertifikat sedangkan faktanya banyak warga yang tidak memiliki surat karena kepemikan tanah didapat secara turun – temurun. Bagaimana mengatasi hal yang demikian apakah kita akan lebih mengedapankan kepastian dengan hanya melihat pada bukti sertifikat atau akan mengedepankan keadilan dengan mengakui siapa pemilik tanah yang sebenarnya. Untuk mengatasi antara kepastian dengan keadilan perlu pemikiran dan tindakan bijak dari aparat penegak hukum sehingga keduanya bisa selaras dan seimbang dalam kehidupan di masyarakat
2. Saran
Dalam makalah ini masih ada kesalahan-kesalahan dan kekurangan kekurangan yang harus di perbaiki. Untuk itu penulis masih membutuhkan saran-saran ataupun kritika-kritikan yang dapat membangun kepada pembuatan makalah yang lebih baik



DAFTAR PUSTAKA

Bakir, Herman, Filasafat Hukum “ Desain dan Arsitektur Kesejarahan” Cetakan Pertama : PT. Refika Aditama, Bandung, 2007.

Darmodihardjo, Darji dan Shidarta, Pokok – Pokok Filsafart Hukum “ Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia”, Cetakan ke enam : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.

Filsafat Hukum “ Renungan Untuk Mencerahkan Kehidupan Manusia di bawah Sinar Keadilan “. Cetakan Pertama, Universitas Sriwijaya, Palembang, 2007.

Rahardjo, Satjipto, Sisi – sisi lain dari Hukum di Indonesia, Cetakan Kedua : Kompas, Jakarta, 2006.

bank century, cicak and buaya, lengkap

BAB I

PENDAHULUAN

Suatu lembaga hukum merupakan ujung tombak keberhasilan pemerintahan suatu Negara khususnya Indonesia. Suatu lembaga hukum di dalam suatu pemerintahan yang ideal harus jauh dari Korupsi,Kolusi dan Nepotisme. Lembaga-lembaga hukum harus tegas dalam aturan yang telah ada sehingga hukum benar-benar dapat di tegakkan di dalam suatu pemerintahan yang ideal. maka seluruh lapisan masyarakat menginginkan terciptanya hukum yang adil yang tidak kenal bulu menumpas setiap kasus. Lembaga-lembaga hukum ini harus benar-benar diawasi sehingga dapat tercipta hubungan positif bagi setiap elemen-elemen yang berhubungan di dalamnya pembinaan dan pengembangan elemen-elemen lembaga dipandang perlu diperhatikan sebagai wujud komitmen dalam melakukan pembenahan agar mencapai mutu yang sesuai dengan apa yang diharapkan.
Penyusunan makalah ini merupakan bentuk respon terhadap pemerintahan , paling tidak kehadirannya mengingatkan kita betapa pentingnya peranan lembaga hukum di Tanah Air kita. Sehingga saatnya nanti segala yang di cita-citakan masyarakat dapat memberikan yang terbaik bagi pemerintahan kita melalui wujud keprofesionalan dan pengalaman. Itu semua akan terjadi manakala kita mau belajar dari yang sudah ada.

A. Latar Belakang
1. Kasus bail-out Bank Century dan segala persoalan teknis dan "bola liar politik"-nya (November 2008). Individu-individu yang terkait adalah para pengambil kebijakan (KSSK). Lembaga yang diharapkan ikut mengurainya adalah BPK (audit keuangan negara), KPK (terkait kerugian uang negara dan gratifikasi), DPR (proses politik seputar pengambilan kebijakan).
2. Kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang menyeret Antasari Azahar (Maret-Mei 2009). Para pelakunya sedang diadili. Lembaga yang menangani adalah kepolisian, kejaksaan, dan kekuasaan kehakiman.
3. Kasus kecurigaan KPK pada proses upaya penarikan dana salah satu nasabah Bank Century pasca-bail-out - April 2009. Individu-individu yang terkait adalah Lukas dan Susno Duadji. Lembaga yang (sedang) menangani kasusnya adalah KPK.
4. Kasus tuduhan penyuapan atau pemerasan yang dilakukan pimpinan KPK (Bibit dan Chandra) atas Anggoro-Anggodo (Agustus 2009). Individu yang terkait adalah para pimpinan KPK (Bibit dan Chandra). Ini berarti kita tetap membuka kemungkinan bahwa kasus penyuapan atau pemerasan ini memang ada. Lembaga yang sedang menangani adalah kepolisian dan kejaksaan.
5. Kasus dugaan kriminalisasi dan konspirasi mafia peradilan untuk menjerat Bibit dan Chandra atas sesuatu yang (mungkin) tak pernah dilakukannya (November 2009). Individu yang terkait adalah semua nama yang disebut dalam rekaman percakapan Anggodo yang disadap KPK (termasuk pejabat Kejaksaan Agung, Mabes Polri, bahkan institusi atau individu Presiden -karena namanya juga disebut-sebut). Belum ada lembaga khusus yang menangani karena semua pihak dalam posisi conflict of interest (baik KPK, Kejaksaan Agung, Polri, maupun Presiden sendiri).
B. Batasan masalah
karena keterbatasan satu dan lain hal penulis hanya dapat memberikan sedikit informasi yang penulis coba rangkum dalam makalah ini, dalam hal ini penulis mendapatkan informasi dari media cetak maupun elektronik kemudian mencoba mencari masalah yang sebenarnya namun ini hanya sebuah informasi agar kita mengetahui asal mulanya dan sebab akibat terjadinya kasus-kasus yang hangat di media cetak maupun elektronik pada sekarang ini kemudian makalah ini sebagai pengetahuan untuk kita menyikapi sebuah informasi.
C. Tujuan penulisan
1. Sebagai pengganti ujian akhir semester mata kuliah Sosisologi hukum.
2. Memberikan informasi baik dari media cetak maupun elektronik.


BAB II
PEMBAHASAN

1. Deskripsi Kornologi Kasus Bank Century Dengan Kasus Lainnya.

Di tahun 1998 Robert Tantular mendirikan Bank Century Intervest Comporation ( CIC ) tetapi setelah Bank CIC melakukan penawaran umum terbatas dia dinyatakan tidak lolos uji kelayakan dan kepatutan oleh BankIndonesia. Kemudian di tahun 2004 dari Merger Bank Danpac, Bank Pikko dan Bank CIC berdirilah Bank Century yang diduga ikut andil Mantan Senior Bank Indonesia yaitu Anwar Nasution pada tanggal 6 tahun 2004 Menteri Hukum dan HAM mengesahkan Bank Century.
Salah satu nasabah terbesar Bank Century cabang Kertajaya, Surabaya ialah Budi Sampoerna kemudian di tahun 2008 beberapa nasabah terbesar Bank Century seperti …………… menarik dana yang di simpan sepekan kemudian Robert Tantular membujuk Budi Sampoerna dan anaknya yang bernama agar nenjaid pemegang saham dengan alas an Bank Century mengalami likuiditas alasan itu juga dibenarkan oleh Boediono selaku Gubernur Bank Indonesia. Setelah itu BI menggelar rapat telekonferansi dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang sedang berada di Wasington Amerika menemani Presiden.
Setelah itu Bank Century mengajukan permohonan fasilitas pendanaan darurat dengan alasan sulit mendapatkan pendanaan, Budi Sampoerna setuju memindahkan seluruh dana dari Rek di Bank Centuri cabang Kertajaya, Surabaya ke cabang Senayan Jakarta. BImelalui data per 31 oktober 2008 mengumumkan bahwa rasio kecukupan modal ataua CAR minur hingga 3,52 persen kemudian di putuskan guna menambah CAR menjadi 8 persen adalah sebesar Rp.632 miliar. Rapat itu juga membahas dampak sistematik jika Bank Century di likuiditasi dan menyerahkan Bank Century kepada lembaga penjamin kemudia mantan Group Head Jakarta Netwok PT.Bank Mndiri Maryono diangkat menjadi Dirut Bank Century menggantikan Hermanus Hasan Muslim setelah itu 8 pejabat Bank Century di cekal.
Lembaga penjamin mengucurkan dana Rp.2,776 triliun kepada Bank Century, BI menilai 8 persen CAR yang dibutukan Bank Century sesuai dengan perjanjian lembaga penjamin dapat menambah 10 persen yaitu Rp.2,776 triliun. Robert Tantular di tangkap karena diduga mempengaruhi kebijakan direksi sehingga mengakibatkan gagal kliring. Periode November hingga Desember 2008 pihak ketiga yang di tarik dari nasabah Bank Century sebesar Rp.5,67 triliun kemudian lembaga penjamin mengucurkan dana kedua kalinya sebesar Rp.1,55 triliun untuk menutupi kebutuhan CAR. Dari sinilah KPK mencium adanya suap yang dilakukan Bank Century kepada petinggi Polri yang menyebabkan kurang mesra antara keduanya.
Pertengahan april 2009 Kabareskim Polri memasilitasi pertemuan antara Bank Century dengn pihak Budi Sampoerna sebasar US$ 58 juta dari total Rp. 2 triliun dalam bentuk rupiah. Bank Century mengaku mulai mencairkan dana Budi Sampoerna yang di selewengkan Robert Tantularnamun hal itu dibantah oleh pengacara Budi Sampoerna Lucas (pengacara Budi) mengatakan bahwa Bank Century belum membayar sepeserpun kepada kliennya. Kemudian KPK melayangkan surat permohonan kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan audit terhadap Bank Century.
Tiga soal Membelit Robert Tantular
PEMILIK saham mayoritas Bank Century, Robert Tantular, telah dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp 50 miliar subsider 5 bulan penjara, karena melakukan tindak pidana perbankan dengan tiga dakwaan. Dia akan menghadapi vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 10 September 2009
Pertama, Robert terbukti menyuruh memindahbukukan deposito valuta asing milik pengusaha Boedi Sampoerna 18 juta dolar AS. Ia juga menyuruh mencairkan deposito tersebut tanpa seizin pemiliknya.
Kedua, Robert menyuruh pegawai bank mengucurkan kredit ke PT Wibowo Wadah Rejeki Rp 121,3 miliar dan ke PT Accent Investment Indonesia Rp 60 miliar tanpa prosedur yang benar. Kredit diberikan dulu, baru persyaratan administrasi dilengkapi kemudian.
Ketiga, Robert mengingkari letter of commitment yang ia teken pada 15 Oktober 2008 dan 16 November 2008. Surat itu menyatakan kesanggupan Robert bersama dua pemegang saham Century lainnya, Ravat Ali Rizvi dan Hesham Al-Warraq, membayar surat berharga hampir jatuh tempo sebesar 188,4 juta dolar AS. Surat itu juga menyatakan mereka sanggup mengembalikan surat berharga Century yang dikuasai First Gulf Asia Holding Limited sebesar 15,8 juta dolar AS. Ravat dan Hesham kini buron.

Kronologi Kasus Bank Century Dengan Kasus Lainnya ;
2003
Bank CIC diketahui didera masalah yang diindikasikan dengan adanya surat-surat berharga valutas asing sekitar Rp2 triliun, yang tidak memiliki peringkat, berjangka panjang, berbunga rendah, dan sulit di jual. BI menyarankan merger untuk mengatasi ketidakberesan bank ini
.2004
Bank CIC merger bersama Bank Danpac dan bank Pikko yang kemudian berganti nama menjadi Bank Century. Surat-surat berharga valas terus bercokol di neraca bank hasil merger ini. BI menginstruksikan untuk di jual, tapi tidak dilakukan pemegang saham. Pemegang saham membuat perjanjian untuk menjadi surat-surat berharga ini dengan deposito di Bank Dresdner, Swiss, yang belakangan ternyata sulit ditagih.
2005
BI mendeteksi surat-surat berharga valas di Ban Century sebesar US$210 juta.
30 Oktober dan 3 November 2008
Sebanyak US$56 juta surat-surat berharga valas jatuh tempo dan gagal bayar. Bank Century kesulitan likuiditas. Posisi CAR Bank Century per 31 Oktober minus 3,53%.
13 November 2008
Bank Century gagal kliring karena gagal menyediakan dana (prefund)
17 November 2008
Antaboga Delta Sekuritas yang dimilik Robert Tantutar mulai default membayar kewajiban atas produk discreationary fund yang di jual Bank Century sejak akhir
2007.20 November 2008
BI Mengirim surat kepada Menteri Keuangan yang menentapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan mengusulkan langkah penyelamatan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Di hari yang sama, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang beranggotakan BI, Menteri Keuangan, dan LPS, melakukan rapat.
21 November 2008
Ban Century diambil alih LPS berdasarkan keputusan KKSK dengan surat Nomor 04.KKSK.03/2008. Robert Tantular, salah satu pemegang saham Bank Century, bersama tujuh pengurus lainnya di cekal. Pemilik lain, Rafat Ali Rizvi dan Hesham Al-Warraq menghinglang.
23 November 2008
LPS memutuskan memberikan dana talangan senilai Rp2,78 triliun untuk mendongkrak CAR menjadi 10%.
5 Desember 2008
LPS menyuntikkan dana Rp2,2 triliun agar Bank Century memenuhi tingkat kesehatan bank.
9 Desember 2008
Bank Century mulai menghadapi tuntutan ribuan investor Antaboga atas penggelapan dana investasi senilai Rp1,38 triliun yang mengalir ke Robert Tantular.
31 Desember 2008
Bank Century mencatat kerugian Rp7,8 triliun pada 2008. Aset-nya tergerus menjadi Rp5,58 triliun dari Rp14,26 triliun pada 2007.
3 Februari 2009
LPS menyuntikkan dana Rp1,5 triliun.
11 Mei 2009
Bank Century keluar dari pengawasan khusus BI
3 Juli 2009
Parlemen mulai menggugat karena biaya penyelamatan Bank Century terlalu besar.
6 Juli 2009
Antasari secara resmi melaporkan dugaan suap terhadap pimpinan KPK terkait kasus yang melibatkan PT Masaro ke Polda Metro Jaya.
9 Juli 2009
KPK memasukkan Anggoro ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan mengumumkannya ke seluruh jajaran kepolisian dan kejaksaan di Indonesia.

10 Juli 2009
Susno Duadji, Kabareskrim Mabes Polri, menemui Anggoro di Singapura untuk mengklarifikasi kebenaran laporan mantan Ketua KPK Antasari Azhar terkait dugaan pemerasan/penyuapan yang dilakukan Chandra dan Bibit.
15 Juli 2009
Anggodo Widjojo (adik Anggoro) dan Ary Mulyadi membuat pengakuan dirinya menyerahkan uang suap sebesar Rp. 5,1 miliar ke pimpinan KPK Bibit dan Chandra.
21 Juli 2009
KPK temukan surat pencabutan pencekalan palsu terhadap Anggoro.
21 Juli 2009
LPS menyuntikkan dana Rp630 miliar.
18 Agustus 2009
Robert Tantular dituntut delapan tahun penjara dan denda Rp50 miliar subsider lima bulan kurungan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sebelumnya pada 15 Agustus, manajemen Bank Century menggugatnya sebesar Rp2,2 triliun.
19 Agustus 2009
Polisi menahan Ari Muladi terkait penerimaan dana dari PT Masaro. Dia dikenai pasal penipuan dan penggelapan. Ari awalnya mengaku sebagai orang yang memberikan suap ke pimpinan KPK. Ini dia sebut dalam dokumen 15 Juli. Namun kemudian dia mencabutnya, dan mengaku tidak kenal pimpinan KPK
3 September 2009
Kepala Kepolisian Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat agar terus mengejar aset Robert Tantular sebesar US$19,25 juta, serta Hesham Al-Warraq dan Rafat Ali Rizvi sebesar US$1,64 miliar

.10 September 2009
Robert Tantular divonis 4 tahun penjara dan dengan Rp50 miliar.
Dengan adanya kasus Bank Century ini, maka beberapa saat yang lalu masyarakat juga sempat dihebohkan kasus Bibit-Chandra yang disebut-sebut terkait dengan kasus Bank Century itu sendiri Dalam sebuah pemberitaan yang diterbitkan oleh liputan6.com, maka Tif pencari Fakta (TPF) kasus Bibit-Chandra menduga, upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK yang berujung pada penahanan Bibit dan Chandra, terkait dengan kasus Bank Century. "Menurut kami, ada kaitannya. Tapi sejauhmana kaitannya masih kami dalami," kata Sekretaris TPF Deny Indrayana, Selasa (10/11)
Seperti diberitakan sebelumnya, upaya penyelamatan Bank Century diwarnai dugaan korupsi dan suap yang melibatkan Kabareskrim Komjen Susno Duadji. Susno diduga ikut menikmati aliran dana Rp 10 miliar dan tengah diselidiki oleh KPK.
Namun dalam beberapa kali kesempatan, Susno Duadji yang sempat dinonaktfikan dari jabatannya selalu membantah dugaan itu. Bahkan saat mengikuti rapat dengan Komisi III DPR, Susno sempat bersumpah bahwa dirinya tidak menerima uang dari Bank Century. Hal yang sama juga diungkapkan Susno ketika dimintai keterangan oleh TPF beberapa waktu lalu. Kini TPF bekerja keras untuk mengungkap apakah memang ada keterkaitan langsung antara Kasus Bank Century dengan upaya kriminalisasi terhadap Bibit dan Chandra. Atas kasus Bank Century hal yang paling mencuat akhir-akhir ini adalah mengenai Hak Angket DPR untuk kasus Century. Mengenai hak angket Century sejauh ini telah terbentuk Tim Sembilan yang diharapkan dapat memimpin Panitia Angket Century itu sendiri. Sejumlah aktivis dari berbagai elemen masyarakat, Kamis (3/12), menyatakan sikap, berharap Tim Sembilan, tim yang mengusung hak angket Bank Century, untuk turut dalam panitia khusus hak angket Bank Century. Mereka mendukung dan memercayai anggota Tim Sembilan untuk memimpin dan menjadi anggota panitia angket tersebut. "Saya pikir yang diusulkan semestinya ketua pansus itu dari Tim Sembilan," ujar aktivis KOMPAK, Ray Rangkuti, ketika ditemui dalam konferensi pers di Kantor PP Muhammadiyah, di Jakarta, Kamis (3/12). Turut hadir dalam pertemuan tersebut aktivis dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (KOMPAK), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Forum Kepemimpinan Muda Indonesia (FKIP), dan beberapa elemen lainnya. Harapan mereka adalah adanya penyeleksian dalam memilih orang-orang yang akan duduk dalam panitia hak angket tersebut. "Kalau bisa orang-orangnya diseleksi," kata Ray Dalam pernyataan sikapnya, mereka mengatakan, kepercayaan masyarakat telah tertambat kepada Tim Sembilan sejak upaya mereka yang tidak kenal lelah dalam mengusung dan mengajukan hak angket ini. Mereka berharap pemimpin parpol sebaiknya tidak mengabaikan kepercayaan rakyat tersebut Selanjutnya, Jumat (4/12) besok, bertepatan dengan penetapan panitia hak angket Bank Century oleh DPR, para aktivis tersebut berencana akan menggelar aksi di Nusantara Tiga Gedung DPR RI, Jakarta, pukul 14.00. Tema yang diusung masih sama, yaitu "Tolak Penumpang Gelap Pansus Century".
11 September 2009
Polisi memeriksa 4 pimpinan KPK atas laporan Antasari Azhar. Mereka yakni Chandra M Hamzah, Bibit Samad Rianto, M Jasin dan Haryono Umar.
15 September 2009
Polisi menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka. Pasal penyalahgunaan wewenang dan pemerasan disangkakan pada keduanya
16 September 2009
Chandra dan Bibit dikenakan wajib lapor, tidak ditahan
2-5 Oktober 2009
Tim pengacara KPK melaporkan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Susno Duaji ke Presiden SBY dan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri. Susno dinilai melanggar etika profesi karena menemui Anggoro Widjaja pada 10 Juli 2009 di Singapura, padahal Anggoro resmi ditetapkan buron KPK pada 7 Juli 2009
9 Oktober 2009
Berkas Chandra dikembalikan Kejagung ke Polri, dianggap belum lengkap
16 Oktober 2009
Ari Muladi dibebaskan, masa penahanannya habis. Sebelumnya, pada 14 Oktober berkas Ari dikembalikan Kejagung ke Polri
20 Oktober 2009
Berkas Bibit dan Chandra dikembalikan Kejagung ke polisi karena belum lengkap
23 Oktober 2009
Transkrip rekaman rekayasa kriminalisasi KPK beredar. Isinya percakapan orang yang diduga adik buron KPK, Anggodo Widjojo dengan petinggi di Kejagung yang diduga suara eks Jamintel Wisnu Subroto dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga. Percakapan pada Juli-Agustus 2009 itu disebut-sebut merancang kriminalisasi KPK. Nama petinggi kepolisian juga disebut, dan nama SBY ikut dicatut
26 Oktober 2009
Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengakui bila rekaman itu benar-benar ada.
27 dan 28 Oktober 2009
Juru bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal menyebut bila nama SBY dicatut. Presiden juga memerintahkan pengusutan. Sedang Wakil Jaksa Agung AH Ritonga juga menggelar jumpa pers, dia merasa di dalam rekaman bukan suaranya. Mantan Jamintel Wisnu Subroto mengaku rekaman itu.
29 Oktober 2009
Mabes Polri mengumumkan penahanan Chandra dan Bibit, dengan alasan dikhawatirkan menggalang opini dengan menggelar jumpa pers
29 Oktober 2009
Chandra dan Bibit ditahan di Rutan Bareskrim Polri, saat melakukan wajib lapor. Sebelumnya mereka mengikuti sidang uji materi UU KPK di Mahkamah Konstitusi .
2 November 2009
Presiden SBY bentuk Tim Delapan (Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bbibt dan Chandra) yang diketuai oleh Adnan Buyung Nasution. Anggota tim adalah: mantan anggota Komnas HAM Koesparmono Irsan, staf khusus Presiden bidang hukum Denny Indrayana, mantan Dekan FHUI Hikmahanto Juwana, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Komaruddin Hidayat dan Ketua Departemen Hukum Partai Demokrat Amir Syamsudin
.2 November 2009
Kapolri meminta maaf atas munculnya istilah Cicak dan Buaya yang menurutnya dilontarkan oleh oknum polisi (Susno). Kapolri akan mengambil tindakan tegas atas munculnya istilah yang telah menyudutkan institusi kepolisian tersebut. Masyarakat diminta tidak lagi menggunakan istilah Cicak dan Buaya
.3 November 2009
Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman sepanjang 4,5 jam dalam persidangan uji yang berisi percakapan antara Anggodo dengan sejumlah petinggi di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri.
3 November 2009
Usai gelar rekaman, sejumlah pihak meminta Kapolri dan Jaksa Agung mengundurkan diri, dan menuntut agar Susno segera dicopot dari jabatan.
3 November 2009
Presiden merasa terganggu dengan maraknya penggunaan istilah cicak versus buaya.
3 November 2009
Penahanan Bibit-Chandra ditangguhkan. Keduanya keluar dari penjara pada dini hari.

3 November 2009
Polri periksa Anggodo Widjojo terkait rekaman pembicaraannya dengan sejumlah petinggi Polri dan Kejagung.

4 November 2009
Tim Delapan bertemu dengan Kapolri di kantor Wantimpres dan merekomendasikan tiga hal, yaitu penangguhan penahanan Bibit dan Chandra, pembebastugasan Susno, dan penahanan Anggodo Widjojo.
4 November 2009
Ary Muladi mendatangi kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Anggodo Widjojo tidak ditahan dan diam-diam meninggalkan Bareskrim Polri pukul 21.25.

5 November 2009
Kabareskrim Polri Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga mengundurkan diri dari jabatan
5 November 2009
Anggodo Widjojo, didampingi 12 orang pengacara, memenuhi undangan klarifikasi Tim Delapan di kantor Dewan Pertimbangan Presiden .

2. Hukum dan Sistem Sosial

Setiap orang yang mengetahui apa yang namanya hukum pada umumnya beranggapan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang hidup di dalam masyarakat hal ini berdasarkan pada pendapat bahwa hukum untuk mewujudkan nilai-nilai social yang dicita-citakan oleh masyarakat, di perlukan kaidah (hukum) sebagai alatnya.
Dengan adanya konfik yang terjadi antara aparatur hukum yang ada sekarang ini menjadikan suatu pembelajaran buat sistem hukum yang ada saat sekarang ini, bentuk ini adalah suatu cerminan yang tidak baik bagi pemerintahan dan hubungan dengan masyarakat namun ini dapat menjadikan system hukum yang baru yang lebih ideal. Suatu sistem hukum sebaiknya menjalin hubungan dengan sistem-sistem hukum lainnya agar terciptanya suatu system yang sinergi dan dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi setiap individu.
System hukum merupakan pencerminan daripada suatu system social di mana suatu system hukum seyogyanya mencerminkan unsur-unsur kebudayaan, kelompok-kelompok social, lembaga-lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan social, kekuasaan dan wewenang, proses-proses social maupun perubahan-perubahan social.
Namun pada saat sekarang ini lebih mencerminkan pada kekuasaan dan wewenang ini akan berpengaruh pada hukum obyektif maupun subyektif, ini mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan dalam system hukum yang tidak dapat mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh lapisan masyarakat.
System social juga perlu diketahui, agar dapat digali dasar berlakunya hukum. Hukum yang baik adalah hukum yang berlaku atas tiga factor;
1. Factor yuridis;
2. Factor filosofis;
3. Factor sosiologi.
Yang lebih cenderung terlihat sekarang ini hanyalah satu factor yaitu yuridis factor lainnya tetap ada namun tidak berfungsi semana mestinya.
Kita ketahui bersama bahwa konfik yang terjadi antara cicak dan buaya adalah sesuatu hal yang wajar karena cicak (KPK) / “Lembaga Super”memiliki hak yang lebih banyak dari buaya (polisi) dengan begitu buaya iri kepada cicak dan buaya ingin cicak di musnahkan karena buaya-buaya pada takut sama cicak. Ini disebabkan cicak cukup professional walaupun ada cicak yang berubah jadi buaya namun cicak telah membuat buaya-buaya bergetar.

3. Keadilan dalam arti Keseimbangan

Antara Kepastian dengan keadilan memiliki makna yang berbeda, kata kepastian hukum konotasinya lebih erat dengan kekuasaan negara dalam menjamin hak dan kewajiban terutama dalam hal hukum. Setiap warga negara mendapat persamaan di muka hukum. Hal ini dikenal dengan azas “ Equality before the law”. Hukum tidak membedakan kedudukan seseorang dalam penegakan hukum, bahkan ada adegium yang benar katakan benar dan yang salah katakan salah” Negara dalam mewujudkan kepastian hukum mengeluarkan produk berupa peraturan perundangan, yang dijadikan landasan berpijak bagi aparat penegak hukum untuk mengatur para warga negaranya. Apabila melanggar peraturan perundangan jelas sudah melanggar hukum Sedangkan apabila kita membicarakan masalah keadilan jelas sekali ini membicarakan nilai yang hidup dalam masyarakat, dan kadang kala nilai tersebut tidak diatur dalam peraturan perundangan dalam suatu negara akan tetapi nilai tersebut dipatuhi dalam kehidupan sehari – hari di masyarakat

Seperti yang telah dipaparkan diatas tadi bahwa Robert Tantular divonis dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 50 miliar subsider 5 bulan penjara dan Mantan Direktur Utama Bank Century Hermanus Hasan Muslim divonis 3 tahun penjara karena terbukti menggelapkan dana nasabah Rp 1,6 triliun. Seorang yang telah mengelapkan uang perusahaanya begitu banyaknya dan rakyat yang harus menanggungnya lewat APBN dimana letak keadilannya.
Sementara masih jelas di ingatan kita seorang nenek (Minah) yang mengambil 3 buah coklat divonis 3 bulan penjara dimana letak keadilannya bila dibandingkan dengan Minah. Minah adalah masyrakat lugu yang tak tahu tentang hukum dan dia mengambil karena buat menghidupi keluarganya nilai 3 buah coklat iru hanya sekitar 150 ribu rupiah bila kita bandingkan dengan kasus Bank Century tadi yang pengadilan hanya memvonis Mantan Direktur Utama Bank Century Hermanus Hasan Muslim divonis 3 tahun penjara karena terbukti menggelapkan dana nasabah Rp 1,6 triliun. Kita mengetahui bersama bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang maka semakin lemah hukum yang mengikatnya itu terbukti dari banyak kasus termasuk kasus Century yang kurang beraninya mengadukan Robert Tantular kepada polisi sehingga ia telah membuat kerugian yang sangat besar pada Negara Indonesia.
Mayarakat dari tahun ketahun semakin pintar ini terlihat dari banyaknya LSM, Mahasiswa, yang menyuarakan untuk mewujudkan keadilan sehingga dengan begitu hukum dapat berjalan dengan baik. Yang terjadi sekarang ini adalah suatau pembelajaran untuk hukum kita, dengan adanya konfik ini kita dapat mewujudkan yang menjadi cita-cita kita bersama yaitu keadilan dan kepastian hukum.
Antara Kepastian dengan Keadilan mempunyai keterkaitan, bahkan menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerdjono Soekanto “Pasangan antara Kepastian Hukum dan Kesebandingan Hukum keserasiannya menghasilkan keadilan”. Berbicara mengenai keadilan merupakan nilai yang hidup di dalam masyarakat, sedangkan kepastian hukum lebih menitik beratkan pada peraturan perundangan. Kadangkala antara nilai yang hidup dalam masyarakat dengan ketentuan peraturan perundangan saling bertentangan.
Dari kasus yang terjadi sekarang ini lebih menekankan kepastian hukum dari pada keadilan, kita mengetahui bahwa huku adalah sarana untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum. Keadilan harus ada didalam jiwa setiap individu yang di nilai dari masyarakat. Untuk itu lembaga hukum kita lebih menekankan pada kepastian hukum.


BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Profesionalisme lembaga hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pendiddikan, kebersihan jiwa, berani, untuk memberikan masukan yang positif bagi yang lainnya. Pama saat sekarang ini kita telah melewati tahap dari yang namanya Demokrasi untuk mewujukan pemerintahan hukum yang ideal kepada individu-individu.
Lembaga hukum yang ada sebaiknya menyelesaikan masalah yang ada sehingga lembaga hukum kerjasama antara lenbaga hukum terjalin dengan mesra dengan begitu dapat melahirkan formula yang benar dapat memberikan sinergi dalam bekeja, kemudian supermasi hukum harus benar-benar di tegakkan karena ini untuk membangun bangsa yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme yang ada di Negara Indonesia jika kita benar-benar berkomitmen dan sama-sama melangkah pasti Negara kita akan dapat mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan makmur dan sejahtera.
Etika profesional seorang lembaga hukum sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan mutu hukum yang dapat baik. Seorang lembaga hukum baru dapat disebut profesional jika telah menaati Kode Etik Keguruan yang telah ditetapkan.

2. Saran
Dalam makalah ini masih ada kesalahan-kesalahan dan kekurangan kekurangan yang harus di perbaiki. Untuk itu penulis masih membutuhkan saran-saran ataupun kritika-kritikan yang dapat membangun kepada pembuatan makalah yang lebih baik


DAFTAR PUSTAKA

www.kompasiana.com
http://politik.kompasiana.com/2009/
http://nasional.kompas.com/read/xml/....Tim.Delapan.6
http://m.detik.com
: http://www.infobank news.com

Selasa, 05 Januari 2010

penyelesaian perkara menurut hukum Islam dan hukum Nasional

BAB I
PENDAHULUAN

Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia telihat dan tercermin dalam sikap bangsa Indonesia sendiri yang juga memberikan penghormatan kepada kata tanah, dengan penyebutan istilah seperti Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah pusaka dan sebagainya. Bahkan dalam UUPA juga dinyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah (Pasal 1 ayat (3) UUPA).
Namun dalam kenyataannya, bagi bangsa Indonesia salah satu masalah pokok hingga kini belum mendapat pengaturan yang tuntas adalah masalah tanah . Permasalahan tanah yang dari segi empiris sangat lekat dengan peristiwa sehari-hari, tampak semakin kompleks dengan terbitnya berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era perdagangan bebas .
Munculnya berbagai kasus pertanahan tersebut tidak dapat dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah yang banyak bersifat ad hoc, inkonsisten dan ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain. Struktur hukum tanah menjadi tumpang tindih. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral . Keseluruhan undang-undang yang bersifat sektoral itu mempunyai posisi yang sama dan menjadikan tanah sebagai objek yang sama. Akibatnya benturan di lapangan tidak dapat dihindarkan, antara penggunaan dan penafsiran undang-undang yang berbeda oleh pejabat-pejabat pemerintahan sektoral yang berbeda-beda terjadi atas konflik penguasaan yang sama. Perbedaan antara undang-undang itu tidak hanya dapat memberikan peluang pada perbedaan interpretasi para birokrat, tetapi juga secara substansial undang-undang tersebut tidak integratif .
Kesadaran akan arti pentingnya reformasi di berbagai bidang dalam upaya untuk mencari jalan keluar dari kemelut politik dan ekonomi Indonesia, telah mendorong pemikiran ke arah reformasi kebijakan di bidang pertanahan. Perkembangan yang dinamis tersebut, dikehendaki atau tidak, mendorong ke arah perlunya pemikiran yang konseptual dalam rangka mengisi dan mengantisipasi perkembangan hukum tanah secara bertanggung jawab, termasuk didalamnya menyangkut solusi hukum penyelesaian sengketa tanah.
Pada satu sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah tanah dilihat dari segi yuridisnya saja merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya dan dalam suatu kasus, tidak jarang terlibat beberapa instansi yang langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah/sengketa yang diajukan di pengadilan baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara . Namun pada sisi lain dalam perkembangan selanjutnya, penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga pengadilan oleh masyarakat dirasakan kurang efektif disamping itu memakan waktu dan biaya yang cukup besar, juga adanya potensi campur tangan pihak ketiga dengan motivasi apa pun yang berakibat negatif terhadap keputusan pengadilan. Bahkan di kalangan masyarakat telah merebak isu bahwa di Mahkamah Agung (MA) tanpa solusi yang jelas, sehingga sedikit banyak menambah keraguan masyarakat/pencari keadilan terhadap efektivitas penyelesaian sengketa di pengadilan yang merupakan benteng terakhir untuk menemukan keadilan. Oleh karena itu, masalah penyelesaian sengketa pertanahan yang efektif dan efisien merupakan hal yang sangat penting untuk dicapai dalam upaya mendukung proses akselerasi pembanguan yang kondusif serta lebih memberikan jaminan dan kepastian hukum serta kepuasan bagi para pencari keadilan. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk mengatasi berbagai sengketa tanah dengan sistem penyelesaian yang efektif, adil, tidak menyita waktu dan biaya yang murah serta terhindar dari campur tangan pihak ketiga adalah melalui mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Salah satu mekanisme ADR yang paling banyak digunakan adalah melalui cara mediasi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Penyelesaian sengketa berdasarkan tradisi Islam klasik.
Pengertian
1. Al Sulh (Perdamaian)
Secara bahasa, “sulh” berarti meredam pertikaian, sedangkan menurut istilah “sulh” berarti suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri perselisihan/pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara damai. Menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara sangat dianjurkan oleh Allah SWT sebagaimana tersebut dalam surat An Nisa‟ ayat 126 yang artinya “Perdamaian itu adalah perbuatan yang baik”. Ada tiga rukun yang harus dipenuhi dalam perjanjian perdamaian yang harus dilakukan oleh orang melakukan perdamaian, yakni ijab, qabul dan lafazd dari perjanjian damai tersebut. Jika ketiga hal ini sudah terpenuhi, maka perjanjian itu telah berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Dari perjanjian damai itu lahir suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya. Perlu diketahui bahwa perjanjian damai yang sudah disepakati itu tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Jika ada pihak yang tidak menyetujui isi perjanjian itu, maka pembatalan perjanjian itu harus atas persetujuan kedua belah pihak.

2. Tahkim (Arbitrase)
Dalam perspektif Islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan istilah “tahkim”. Tahkim sendiri berasal dari kata “hakkama”. Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni pengangkatanseseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berselisihatau lebih, guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai,orang yang menyelesaikan disebut dengan “Hakam”.


3. Wilayat al Qadha (Kekuasaan Kehakiman)
a. Al Hisbah
Al Hisbah adalah lembaga resmi negara yang diberi wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan untuk menyelesaikannya.
b. Al Madzalim
Badan ini dibentuk oleh pemerintah untuk membela orang-orang teraniaya akibat sikap semena-mena dari pembesar Negara atau keluarganya, yang biasanya sulit untuk diselesaikan oleh Pengadilan biasa dan kekuasaan hisbah.
c. al Qadha (Peradilan)
Menurut arti bahasa, al Qadha berarti memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah berarti “menetapkan hukum syara‟ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat”.

4. Dasar-dasar sistem pemerintahan Islam.
a. Permusyawaratan dalam Islam
1. Al-Imran 159.
                              •   

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya".
Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lainnya.

2. An Naml 32.

           

"Berkata dia (Balqis): "Hai para pembesar berilah Aku pertimbangan dalam urusanku (ini) Aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)".

3. Asy Syuura 38

          
Artinya ;
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.

b. Keadilan dalam memerintah.
1. An Nisaa 135
                                  •     

Artinya ;
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia[361] Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
[361] Maksudnya: orang yang tergugat atau yang terdakwa.

2. Al Maidah 8
          •            •        

Artinya ;
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

B. Penyelesaian Sengketa Tanah: Perspektif Hukum Tanah Nasional.
Masalah seputar tanah harus diakui merupakan masalah yang cukup rumit dan sensitif. Bukan hanya pada aspek yuridisnya, akan tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan bermasyarakat lainnya. Penanganan yang kurang bijaksana terhadap masalah tanah akan berakibat fatal yang kadang kala dapat menjurus ke arah yang dapat mengganggu stabilitas masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah, penyelesaian sengketa tanah harus disesuaikan dengan karidor hukum tanah nasional, yakni dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria (UUPA).

Penyelesaian sengketa tanah dalam perspektif Hukum Tanah Nasional menghendaki agar penyelesaian sengketa diusahakan pertama-tama melalui musyawarah. Dalam musyawarah itu kedudukan para pihak adalah sederajat, biarpun salah satu pihaknya adalah pemerintah. Kalau yang bersengketa meliputi jumlah yang besar, dapat dilaksanakan melalui perwakilan atau kuasa yang ditunjuk oleh yang bersangkutan. Musyawarah pada hakikatnya adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian .

Secara konstitusional, negara mengakui dan melindungi hak-hak rakyat dan masyarakat-masyarakat hukum adat atas tanah. Tetapi kalau diperlukan untuk proyek yang mempunyai sifat kepentingan umum atau kepentingan nasional dan menyangkut hajat hidup orang banyak, tanah yang dipunyai itu wajib diserahkan, dengan ketentuan bahwa negara harus memperhatikan hak dan kepentingan mengenai bentuk dan jumlah ganti kerugian yang wajib diberikan kepada pemegang hak atas tanah tersebut. Dalam Penjelasan Umum UUPA dinyatakan bahwa kepada masyarakat-masyarakat hukum adat yang tanah ulayatnya diperlukan bagi pembangunan wajib diberikan recognitie atau kompensasi dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat.
Dalam hal musyawarah tidak dapat menghasilkan kesepakatan mengenai penyerahan bidang tanah yang diperlukan dan/atau mengenai bentuk jumlah imbalannya, sengketa dapat diselesaikan dengan menggunakan lembaga pencabutan hak yang diatur dalam UU No. 20/1961 dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, jika tidak dapat digunakan bidang tanah yang lain dan proyeknya mempunyai sifat kepentingan umum. Pencabutan hanya dapat dilakukan dengan Keputusan Presiden dan tanah yang bersangkutan baru boleh dikuasai setelah ganti ruginya diterimakan. Namun cara ini dinilai memakan waktu dan kurang memadai terutama terhadap proyek-proyek yang harus segera diselesaikan.
Untuk penyelesaian sengketa bagi tanah-tanah yang dikuasai secara illegal , jika tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah, disediakan ketentuannya dalam UU No.51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. Dalam UU ini, para Bupati/Walikota diberikan kewenangan untuk secara arif dan bijaksana menyelesaikan sengketa tanah yang dikuasai secara illegal itu, dengan memperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penguasaan dan yang meliputi kasus yang dihadapi. Jika musyawarah tidak dapat menghasilkan kesepakatan, Bupati/Walikota atas nama undang-undang tersebut di atas, dapat secara sepihak memutuskan penyelesaiannya tanpa wajib mengajukan soalnya kepada pengadilan. Dalam hal ini tidak dilakukan pencabutan hak, karena penguasaan tanahnya tidak ada landasan haknya.
Bupati/Walikota dapat memerintahkan pengosongan atas tanah tanah yang dikuasai secara illegal tersebut, dengan atau tanpa pemberian uang pesangon. Apa yang diberikan itu bukan imbalan ataupun ganti kerugian, kecuali mengenai bengunan dan tanaman yang menurut hukum memang merupakan milik pihak yang menguasai tanah. Pengosongan dapat juga disertai penyediaan tempat hunian baru. Tetapi baik pesangon maupun penyediaan tempat hunian baru merupakan semata-mata putusan kebijaksanaan Bupati/Walikota dalam menyelesaikan kasus yang bersangkutan. Karenanya bukan hak okupan yang dapat dituntut pemberiannya. Terlepas dari hal di atas, mengenai penyelesaian sengketa itupun harus memperhatikan pertimbangan kemanusian, karena asas utama yang bersumber pada Pancasila juga berlaku dalam kasus-kasus tersebut.
C. Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa Tanah.
Dari laporan hasil Dialog Reformasi Kebijakan Pertanahan di Indonesia tahun 2001 dan hasil Diskusi Pertanahan tahun 2002, telah memberikan suatu gambaran kepada semua pihak bahwa masalah konflik dan sengketa tanah adalah masalah yang utama dan sangat penting serta tidak dapat ditunda-tunda lagi untuk segera ditangani oleh pemerintah.
Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 5 ayat 1 mengenai TAP MPR No. IX /MPR/2001 khususnya mengenai arahan kebijakan pembaharuan agraria sebagai suatu amanat dari seluruh rakyat Indonesia yang berbunyi:“Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya Agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud pasal 4 ketetapan ini”.
Menurut Arie S. Hutagalung, pada prinsipnya secara garis besar, seperti halnya sengketa secara umum, maka sengketa tanah dapat diselesaikan melalui 3 (tiga cara) yaitu :
1) Penyelesaian secara langsung oleh para pihak dengan musyawarah. Dasar dari musyawarah untuk mufakat ini tersirat dalam Pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat Indonesia dan juga tersirat dalam UUD 1945.
2) Penyelesaian melalui Badan Peradilan berdasarkan UU No. 14/1970 jo UU No. 35/1999 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; umumnya penyelesaian ini diajukan ke peradilan umum yang diatur dalam UU No.2/1986 tentang Peradilan Umum atau apabila yang disengketakan adalah produk tata usaha negara atau yang digugat pejabat Tata Usaha Negara melalui Peradilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam UU No. 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, atau apabila menyangkut tanah wakaf diajukan ke Pengadilan Agama.
3) Melalui mekanisme Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution); dengan telah diundangkannya UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka terdapat suatu kepastian hukum untuk mengakomodasi cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum.
Dalam praktik hukum di Indonesia, pada umumnya semua sengketa pertanahan dapat diajukan ke pengadilan baik dalam lingkup peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara. Namun harus diakui, penggunaan lembaga peradilan untuk menyelesaikan suatu sengketa pertanahan kerapkali menyisakan banyak kekurangan/kelemahan, yang mana secara umum kekurangan/kelemahan ini apabila ditinjau dari aspek ekonomi merupakan salah satu komponen yang mengakibatkan munculnya ekonomi biaya tinggi.
Berperkara di pengadilan pada umumnya dirasakan sebagai proses yang memakan waktu, tidak sederhana, dan tidak murah biayanya. Hal ini sering diperparah dengan kendala yang bersifat organisatoris dan Kendala non-yuridis berupa campur tangan pihak-pihak di luar lembaga yudikatif dengan dampak keluarnya keputusan yang menyimpang dari arti hakiki pengadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi pencari keadilan. Karena itu, dapat dipahami, penyelesaian sengketa di pengadilan merupakan pilihan terakhir.
Beberapa kritik yang sering kali dilontarkan terhadap lembaga peradilan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imamulhadi bahwa proses penyelesaian melalui jalur pengadilan (ligitasi) memiliki banyak kelemahan, seperti :
1) Ligitasi memaksa para pihak berada pada posisi yang ekstrim dan memerlukan pembelaan;
2) Ligitasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, sehingga mendorong para pihak untuk melakukan penyelidikan terhadap kelemahan-kelemahan pihak lainnya;
3) Proses ligitasi memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal;
4) Hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang mendasari penyelesaian suatu masalah hukum baru.
Dalam perkembangan sengketa pertanahan di Indonesia, pernah timbul gagasan untuk membentuk Pengadilan Pertanahan di dalam lingkup peradilan umum. Walaupun secara teoritis pembentukan Pengadilan Pertanahan dimungkinkan , namun demikian masalah utamanya adalah : apakah dengan dibentuknya Pengadilan Pertanahan maka efektivitasnya dapat dijamin? Berdasarkan pengamatan berperkara di pengadilan sebagai di gambarkan di atas justru eksistensi penyelesaian sengketa melalui pengadilan terkadang diragukan sebagai benteng terakhir untuk menemukan keadilan. Olehnya itu, efektivitas Pengadilan Pertanahan yang diusulkan itu masih merupakan tanda tanya. Selain Pengadilan Pertanahan, gagasan tentang Arbitrasi Pertanahan juga pernah dilontarkan. Maria S.W. Sumardjono berpandangan bahwa gagasan pembentukan lembaga Arbitrase Pertanahan masih memerlukan pemikiran yang seksama. Apabila semua unsur yang dipertimbangkan untuk terciptanya lembaga arbitrase itu sudah dapat dipenuhi, barangkali gagasan itu dapat terwujud. Namun dengan berfungsinya lembaga tersebut, tidak serta merta dapat diharapkan bahwa penyelesaian sengketa akan berjalan lebih cepat. Menurutnya tersedianya tenaga ahli yang profesional, tata kerja yang jelas, dan tersedianya dana pendukung yang diperlukan akan berdampak terhadap ketepatan waktu penyelesaian sengketa. Namun demikain, gagasan tentang pembentukan lembaga Pengadilan Pertanahan maupun Arbitrase Pertanahan harus diakui, muncul sebagai reaksi atas penyelesaian sengketa tanah melalui pengadilan yang berjalan lamban, mahal, dan terkadang tidak dapat dieksekusi.
Menurut hemat Penulis, pembentukan lembaga peradilan tersebut di atas, seyogyanya untuk saat ini tidak diperlukan karena penyelesaian sengketa tanah sudah dalam sistem hukum pertanahan Indonesia telah memperoleh tempat penyelesaian melalui peradilan umum, peradilan tata usaha negara dan peradilan agama. Yang harus dilakukan adalah bagaimana mengupayakan agar lembaga pengadilan dapat berfungsi secara optimal. Eksistensi pengadilan sebagai tempat bagi para pencari keadilan, harus senantiasa secara terencana dan sistematis ditingkatkan kualitasnya. Hal itu dilakukan dalam rangka menghasilkan berbagai produk keputusan yang berkualitas, sehingga pada akhirnya diharapkan dapat memposisikan citra pengadilan sebagai benteng terakhir para pencari keadilan.
D. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan
Berbagai kekurangan lembaga peradilan dalam menyelesaikan suatu sengketa sangat dirasakan oleh para pihak yang bersengketa terutama dalam rangka memberikan kepuasan hukum, sehingga kondisi ini semakin meyakinkan perlunya ditemukan cara penyelesaian lain yang dapat memuaskan para pihak yang bersengketa, sehingga pencari keadilan beralih pada Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) untuk menyelesaikan setiap persoalan yang timbul terkait dengan sengketa tanah.
Mengingat penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum maupun pengadilan tata usaha negara sering dirasakan kurang efektif, dan bahwa pengadilan itu merupakan upaya terakhir bila upaya lain menemui jalan buntu, maka gagasan untuk memanfaatkan cara penyelesaian sengketa alternatif di luar jalur pengadilan, misalnya melalui lembaga mediasi, nampaknya sudah saatnya untuk diwujudkan.
Barangkali untuk Indonesia, dimana cara-cara musyawarah untuk mencapai mufakat merupakan hal yang lazim, untuk kasus-kasus pertanahan yang bersifat perdata dalam arti luas, yakni yang tidak menyangkut aspek administrasi dan pidana, sepanjang para pihak menghendaki cara-cara mediasi, maka hal itu dapat ditempuh. Apalagi dalam Pasal 14 UU no. 14/1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa walaupun hakim harus mengadili perkara yang diajukan, namun tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Mediasi sebagai mekanisme ADR/APS menawarkan cara penyelesaian sengketa yang khas dengan ciri–ciri : waktunya singkat, terstruktur, berorientasi pada tugas, dan merupakan cara intervensi yang melibatkan peran serta para pihak secara aktif. Menurut Maria S.W. Sumardjono, penyelesaian sengketa tanah melalui lembaga mediasi memiliki segi positif dan negatif. Segi positifnya adalah bahwa waktunya singkat, biayanya ringan dan prosedurnya sederhana. Pihak yang bersengketa akan merasa lebih “berdaya” dibandingkan dalam proses pengadilan karena mereka sendirilah yang menentukan hasilnya. Di samping itu, dalam mediasi para pihak akan lebih terbuka terhadap adanya nilai-nilai lain di samping faktor yuridis. Segi negatifnya adalah bahwa hasil mediasi tidak dapat dimintakan penguatan kepada pengadilan, karena itu efektivitasnya tergantung kepada ketaatan para pihak untuk menepati kesepakatan bersama tersebut.
Lebih lanjut beliau menyatakan pula bahwa, segi positif mediasi sekaligus dapat menjadi segi negatifnya, dalam arti keberhasilan mediasi semata-mata tergantung pada itikad baik para pihak untuk menaati kesepakatan bersama tersebut karena hasil akhir mediasi tidak dapat dimintakan penguatan kepada pengadilan. Untuk sengketa dalam bidang bisnis, supaya kesepakatan dapat dilaksanakan (final and binding), seyogianya para pihak mencantumkan kesepakatan (klausula ADR/APS) itu dalam bentuk perjanjian tertulis yang tunduk pada prinsip-prinsip umum perjanjian.
Dalam mediasi, para pihak sendirilah yang berperan aktif untuk menjajaki berbagai alternatif untuk menetapkan hasil akhir dengan bantuan seorang mediator yang tidak memihak dan berperan untuk membantu tercapainya hal-hal yang disepakati bersama. Fungsi mediator dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga mediasi, oleh Suyud Margono dijelaskan adalah sebagai berikut :
1) Sebagai “katalisator”, berarti kehadiran mediator dalam proses perundingan mampu mendorong lahirnya suasana yang konstruktif bagi jalannya diskusi.
2) Sebagai “pendidik”, berarti seseorang harus berusaha memahami aspirasi, prosedur kerja, keterbatasan politis, dan kendala usaha dari para pihak. Oleh sebab itu, mediator harus berusaha melibatkan diri dalam dinamika perbedaan diantara para pihak.
3) Sebagai “penerjemah”, berarti mediator harus berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan para pihak melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul.
4) Sebagai “nara sumber”, berarti seorang mediator harus mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia.
5) Sebagai “penyandang berita jelek” berarti bahwa mediator harus menyadari bahwa para pihak dalam proses perundingan dapat bersikap emosional. Untuk itu mediator harus mengadakan pertemuan terpisah dengan pihak-pihak terkait untuk menampung berbagai usulan.
6) Sebagai “agen realitas”, berarti mediator harus berusaha memberi pengertian secara jelas kepada salah satu pihak bahwa sasarannya tidak mungkin/tidak masuk akal tercapai melalui perundingan.
7) Sebagai “kambing hitam”, berarti seorang mediator harus siap dipersalahkan misalnya dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.
Dalam hal prosedur/proses yang harus ditempuh dalam mediasi, terdapat beberapa pendapat ahli. Di sini akan dikemukakan proses tahapan mediasi menurut pendapat Riskin dan Westbrook sebagaimana dikutip oleh E. Saefullah Wiradipradja, meliputi lima tahapan sebagai berikut :

1) Sepakat untuk menempuh proses mediasi;
2) Memahami masalah-masalah;
3) Membangkitkan pilihan-pilihan pemecahan masalah;
4) Mencapai kesepakatan; dan
5) Melaksanakan kesepakatan.

Dalam praktik mediasi di Amerika Serikat atau Inggris, walaupun ada pihak yang beranggapan bahwa yang menentukan mediasi itu adalah sikap para pihak yang menginginkan untuk menyelesaikan sengketanya, namun pada umumnya mediasi lebih cocok untuk digunakan, misalnya dalam kasus di mana hubungan antara para pihak diharapkan terus berlanjut, kasus-kasus dimana ada keseimbangan antara kekuatan kedua belah pihak, sengketanya berjangka waktu singkat dan tidak ada kepastian tentang hasil akhirnya bila dibawa ke pengadilan. Dalam konteks Indonesia, kasus-kasus yang lebih sesuai adalah kasus-kasus yang segi hukumnya kurang mengemuka dibandingkan dengan segi kepentingan (interest) para pihak. Penyelesaian sengketa melalui cara-cara mediasi yang modern bagi bangsa Indonesia masih merupakan hal yang relatif baru. Dalam beberapa kasus tanah, penyelesaian sengketa melalui lembaga mediasi pernah dilakukan oleh Komnas HAM dengan hasil yang positif. Oleh karena itu, mengingat bahwa pada masa yang akan datang akan lebih banyak diperlukan cara-cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka dalam rangka pemikiran ke arah realisasi lembaga mediasi, perlu dipersiapkan hal-hal yakni : Pertama, menyiapkan sumber daya manusianya. Seorang mediator haruslah menguasai materi yang akan disengketakan. Latar belakang sebagai sarjana hokum memiliki nilai tambah, tetapi bukan merupakan keharusan. Kualifikasi pokok lainnya adalah mempunyai integritas yang tinggi dan sifat tidak memihak yang ditunjang dengan kemampuan untuk mendengar, mengajukan pertanyaan, mengamati, mewawancarai, konseling dan negosiasi; Kedua, diperlukan pelatihan, jangka waktunya, serta fasilitatornya; dan Ketiga, diperlukan adanya suatu lembaga/badan yang berwenang untuk memberikan pelatihan dan sertifikasi bagi mediator, serta menyusun kode etik mediator, di samping berkewajiban memberikan bimbingan yang berkesinambungan dan menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran kode etik. Karena salah satu faktor penentu seseorang memilih mediasi adalah sifatnya yang tidak memihak, maka lembaga mediasi yang tepat seyogianya bersifat independen, di luar pemerintah, atau tidak berafiliasi dengan pemerintah.

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari uraian di atas pemakah dapat menyimpulkan, bahwasannya sistem penyelesaian perkara pertanahan menurut UUPA hukum Nasional dengan hukum Islam telah terkorelasi dengan baik tinggal lagi pelaksanaannya saja yang harus di tekankan agar sesuai dengan apa yang diharapkan.
Memperhatikan semakin banyaknya masalah-masalah sengketa tanah yang berkepanjangan dan penggunaan lembaga peradilan kerapkali menyisakan banyak kekurangan/kelemahan, serta adanya kebutuhan untuk memperoleh penyelesaian sengketa yang efektif, efisien dan tidak memihak, maka penerapan mekanisme ADR/APS nampaknya merupakan solusi alternatif dalam mengatasi sengketa pertanahan sekaligus sebagai salah satu bentuk jaminan kepastian dan perlindungan hukum.
Mengingat bahwa bangsa Indonesia terkenal dengan penyelesaian masalah melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, kiranya pemanfaatan lembaga mediasi sebagai ADP/APS dapat merupakan alternatif yang berdampak positif

2. Saran
Dalam makalah ini masih ada kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan yang harus di perbaiki. Untuk itu penulis masih membutuhkan saran-saran ataupun kritika-kritikan yang dapat membangun kepada pembuatan makalah yang lebih baik.


DAFTAR PUSTAKA

- Abdurrahman, Beberapa Aspek Tentang Hukum Agraria, Seri Hukum Agraria V, Alumni, Bandung, 1983.
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia (LPHI), Jakarta, 2005.
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, 2005.
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
E. Saefullah Wiradipradja, Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase Sebagai Cara Penyelesaian Sengketa Dalam Bisnis Nasional dan Internasional, Jurnal Hukum Internasional Unpad, Vol. 2 No. 1, April 2003, Bandung, 2003.
Hermayulis, Aspek-Aspek Hukum Hak Pakai Atas tanah Negara Sebagai Objek Jaminan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 10/2000, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB), Jakarta, 2000.
Imamulhadi, Penyelesaian Sengketa dalam Perdagangan Secara Elektronik, Artikel dalam Cyber Law; Suatu Pengantar, ELIPS Project, Jakarta, 2002.
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Edisi Revisi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2006.
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa : Suatu Pengantar, Fikahati Aneska kerja sama dengan BANI, Jakarta, 2002.
Suyud Margono, ADR & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000.
Y.W. Sunindhia & Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran), Bina Aksara, Jakarta, 1988.

Senin, 04 Januari 2010

keadilan dalam arti keseimbangan

BAB I


PENDAHULUAN

Kekuatan kekuasaan dan uang sangat berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia, ini salah satu alasan keadilan tidak bisa di ciptakan di Indonesia sebelum adanya reformasi secara keseluruhan atau dengan kata lain belum adanya suatu ketentuan yang dapat mengikat instansi-instansi penegakan hukum di Indonesia.

Banyak informasi baik dari media cetak maupun elektronik tentangcicak dan buayaini tidak lain adalah suatu tuntutan dari masyarakat kepada instansi-instansi penegakan hukum agar berlaku adil dalam penegakan hukum sehingga keadilan dapat di ciptakan di dalan suatu pemerintahan yang adil,aman dan sentosa.

Ketimpangan ini sudah menjadi penyakit akut yang kronis yang harus cepat di obati agar keadilan didalam penegakan hukum di Indonesia dapat tercipta, pemerintah harus menjadikan kritikan-kritikan yang dilakukan masyarakat, mahasiswa dan elemen-elemen lain menjadi sebuah kekuatan untuk mereformasikan instansi-instansi penegakan hukum..

Penyusunan makalah ini merupakan bentuk respon terhadap penegakan keadilan , paling tidak makalah ini mengingatkan kita betapa pentingnya peran hukum dan betapa pentingnya sikap seorang penegak hukum yang professional serta berpengalaman yang tinggi sehingga saatnya nanti segala yang dicita-citakan bersama tercapai dimana keadilan mampu memberikan yang terbaik bagi kemajuan penegakan hukum melalui wujud keprofesionalan dan pengalaman yang tidak diragukan lagi. Itu semua akan terjadi manakala kita mau belajar dan menganalisis berbagai tindakan yang dimiliki oleh seorang penegak hukum yang mempunyai keadilan yang patut dijadikan figur dan contoh demi kemajuan penegakan hukum di masa yang akan datang.

BAB II
PEMBAHASAN

KEADILAN, (DALAM ARTI KESEIMBANGAN)

1. Pengertian Keadilan

Masalah keadilan ( kesebandingan ) merupakan masalah yang rumit, persoalan mana dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat, termasuk Indonesia.
Hal ini terutama disebabkan karena pada umumnya orang beranggapan bahwa hukum mempunyai dua tugas utama, yakni:

1. mencapai suatu kepastian hukum bagi semua warga masyarakat,

2. mencapai kesebandingan bagi semua warga masyarakat.

Seringkali kedua tugas tersebut tidak dapat ditetapkan sekaligus secara merata.hal ini misalnya ditegaskan pula oleh seorang tokoh sosiologi, yaitu Max Weber yang membedakan substantive rationality dari formal rationality. Dikatakannya bahwa system hukum barat mempunyai kecenderungan untuk lebih menekankan pada segi formal rationality, artinya penyusunan secara sistematis dari ketentuan-ketentuan semacam itu seringkali bertentangan dengan aspek-aspek dari substantive rationality, yaitu kesebandingan bagi warga-warga masyarakatsecara individual.

Kesebandingan adalah suatu keselarasan hubungan antara manusia dalam masyarakat, dan antara manusia dengan masyarakatnya yang sesuai dengan moral yang berlaku didalam masyarakat tersebut, yang dalam hal ini pada masa lampau didasarkan pada individualisme.

Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya filsafat Yunani. Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada kekuatan dan kekuatan yang dimiliki, untuk menjadi adil cukup terlihat mudah, namun tentu saja tidak begitu halnya penerapannya dalam kehidupan manusia.

Kata “keadilandalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari bahasa latiniustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu; (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness), (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya judicature), dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum suatu perkara di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate).

Sedangkan kataadildalam bahasa Indonesia bahasa Arab “aladl” yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan. Untuk menggambarkan keadilan juga digunakan kata-kata yang lain (sinonim) seperti qisth, hukm, dan sebagainya. Sedangkan akar kataadl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (misalnya “ta’diludalam arti mempersekutukan Tuhan danadl dalam arti tebusan). Beberapa kata yang memiliki arti sama dengan kataadildi dalam Al-Qur’an digunakan berulang ulang. Kata “aladldalam Al qur’an dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 35 kali. Kata “al qisthterulang sebanyak 24 kali. Kata “al wajnuterulang sebanyak kali, dan kataal wasthsebanyak 5 kali. Untuk mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat bukan merupakan kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan diasosiasikan dengan aturan hukum positif, bagaimana suatu tindakan harus dilakukan dan pendistribusian menegakkan keadilan, serta bagaimana memajukan keadilan. Namun tentu tidak demikian halnya jika ingin memainkan peran menegakkan keadilan. Perdebatan tentang keadilan telah melahirkan berbagai aliran pemikiran hukum dan teori-teori sosial lainnya. Dua titik ekstrim keadilan, adalah keadilan yang dipahami sebagai sesuatu yang irasional dan pada titik lain dipahami secara rasional. Tentu saja banyak varian-varian yang berada diantara kedua titik ekstrim tersebut.

Dibawah Ini Ada Beberapa Pendapat Para Ahli Tentang Pengertian Keadilan, yaitu:

a. Plato

Plato adalah seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui kekuatan-kekuatan diluar kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional masuk dalam filsafatnya. Demikian pula halnya dengan masalah keadilan, Plato berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa. Sumber ketidakadilan adalah adanya perubahan dalam masyarakat. Masyarakat memiliki elemen-elemen prinsipal yang harus dipertahankan, yaitu:

1. Pemilahan kelas-kelas yang tegas; misalnya kelas penguasa yang diisi oleh para penggembala dan anjing penjaga harus dipisahkan secara tegas dengan domba manusia.

2. Identifikasi takdir negara dengan takdir kelas penguasanya; perhatian khusus terhadap kelas ini dan persatuannya; dan kepatuhan pada persatuannya, aturan-aturan yang rigid bagi pemeliharaan dan pendidikan kelas ini, dan pengawasan yang ketat serta kolektivisasi kepentingan-kepentingan anggotanya.Dari elemen-elemen prinsipal ini, elemen-elemen lainnya dapat diturunkan,

3. Kelas penguasa punya monopoli terhadap semua hal seperti keuntungan dan latihan militer, dan hak memiliki senjata dan menerima semua bentuk pendidikan, tetapi kelas penguasa ini tidak diperkenankan berpartisipasi dalam aktivitas perekonomian, terutama dalam usaha mencari penghasilan,

4. Harus ada sensor terhadap semua aktivitas intelektual kelas penguasa, dan propaganda terus-menerus yang bertujuan untuk menyeragamkan pikiran-pikiran mereka. Semua inovasi dalam pendidikan, peraturan, dan agama harus dicegah atau ditekan.

5. Negara harus bersifat mandiri (self-sufficient). Negara harus bertujuan pada autarki ekonomi, jika tidak demikian, para penguasa akan bergantung pada para pedagang, atau justru para penguasa itu sendiri menjadi pedagang. Alternatif pertama akan melemahkan kekuasaan mereka, sedangkan alternatif kedua akan melemahkan persatuan kelas penguasa dan stabilitas negaranya.

Untuk mewujudkan keadilan masyarakat harus dikembalikan pada struktur aslinya, domba menjadi domba, penggembala menjadi penggembala. Tugas ini adalah tugas negara untuk menghentikan perubahan. Dengan demikian keadilan bukan mengenai hubungan antara individu melainkan hubungan individu dan negara. Bagaimana individu melayani negara. Keadilan juga dipahami secara metafisis keberadaannya sebagai kualitas atau fungsi smakhluk super manusia, yang sifatnya tidak dapat diamati oleh manusia. Konsekuensinya ialah, bahwa realisasi keadilan digeser ke dunia lain, di luar pengalaman manusia; dan akal manusia yang esensial bagi keadilan tunduk pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah atau keputusan-keputusan Tuhan yang tidak dapat diduga. Oleh karena inilah Plato mengungkapkan bahwa yang memimpin negara seharusnya manusia super, yaitu the king of philosopher. Sedangkan Aristoteles adalah peletak dasar rasionalitas dan empirisme. Pemikirannya tentang keadilan diuraikan dalam bukunya yang berjudul Nicomachean Ethics. Buku ini secara keselurahan membahas aspek-aspek dasar hubungan antar manusia yang meliputi masalah-masalah hukum, keadilan, persamaan, solidaritas perkawanan, dan kebahagiaan.

b. Aristoteles

Keadilan diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke-5 buku Nicomachean Ethics. Untuk mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan harus dibahas tiga hal utama yaitu:

1. tindakan apa yang terkait dengan istilah tersebut,

2. apa arti keadilan, dan

3. diantara dua titik ekstrim apakah keadilan itu terletak.

Dan juga Aristoteles mendefenisikan keadilan dalam arti umum dan khusus, yaitu:
1. Keadilan Dalam Arti Umum

Keadilan sering diartikan sebagai sesuatu sikap dan karakter. Sikap dan karakter yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan.Pembentukan sikap dan karakter berasal dari pengamatan terhadap obyek tertentu yang bersisi ganda. Hal ini bisa berlaku dua dalil, yaitu;

1. jika kondisi “baik” diketahui, maka kondisi buruk juga diketahui;

2. kondisi “baik” diketahui dari sesuatu yang berada dalam kondisi “baik”

Untuk mengetahui apa itu keadilan dan ketidakadilan dengan jernih, diperlukan pengetahuan yang jernih tentang salah satu sisinya untuk menentukan secara jernih pula sisi yang lain. Jika satu sisi ambigu, maka sisi yang lain juga ambigu. Secara umum dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair (unfair), maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan fair. Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka semua tindakan pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil. Dengan demikian keadilan bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial. Keadilan yang lengkap bukan hanya mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga kebahagian orang lain. Keadilan yang dimaknai sebagai tindakan pemenuhan kebahagiaan diri sendiri dan orang lain, adalah keadilan sebagai sebuah nilai-nilai. Keadilan dan tata nilai dalam hal ini adalah sama tetapi memiliki esensi yang berbeda. Sebagai hubungan seseorang dengan orang lain adalah keadilan, namun sebagai suatu sikap khusus tanpa kualifikasi adalah nilai. Ketidakadilan dalam hubungan sosial terkait erat dengan keserakahan sebagai ciri utama tindakan yang tidak fair.

Keadilan sebagai bagian dari nilai sosial memiliki makna yang amat luas, bahkan pada suatu titik bisa bertentangan dedengan hukum sebagai salah satu tata nilai sosial. Suatu kejahatan yang dilakukan adalah suatu kesalahan. Namun apabila hal tersebut bukan merupakan keserakahan tidak bisa disebut menimbulkan ketidakadilan. Sebaliknya suatu tindakan yang bukan merupakan kejahatan dapat menimbulkan ketidak adilan.
Sebagai contoh, seorang pengusaha yang membayar gaji buruh di bawah UMR, adalah suatu pelanggaran hukum dan kesalahan. Namun tindakan ini belum tentu mewujudkan ketidakadilan. Apabila keuntungan dan kemampuan membayar perusahaan tersebut memang terbatas, maka jumlah pembayaran itu adalah keadilan. Sebaliknya walaupun seorang pengusaha membayar buruhnya sesuai dengan UMR, yang berarti bukan kejahatan, bisa saja menimbulkan ketidakadilan karena keuntungan pengusaha tersebut sangat besar dan hanya sebagian kecil yang diambil untuk upah buruh. Ketidakadilan ini muncul karena keserakahan. Hal tersebut di atas adalah keadilan dalam arti umum. Keadilan dalam arti ini terdiri dari dua unsur yaitu fair dan sesuai dengan hukum, yang masing-masing bukanlah hal yang sama. Tidak fair adalah melanggar hukum, tetapi tidak semua tindakan melanggar hukum adalah tidak fair. Keadilan dalam arti umum terkait erat dengan kepatuhan terhadap hukum.

2. Keadilan Dalam Arti Khusus

Keadilan dalam arti khusus terkait dengan beberapa pengertian berikut ini, yaitu:

a. Sesuatu yang terwujud dalam pembagian penghargaan atau uang atau hal lainnya kepada mereka yang memiliki bagian haknya.

Keadilan ini adalah persamaan diantara anggota masyarakat dalam suatu tindakan bersama-sama. Persamaan adalah suatu titik yang terletak diantara “yang lebih” dan “yang kurang” (intermediate). Jadi keadilan adalah titik tengan atau suatu persamaan relatif (arithmetical justice). Dasar persamaan antara anggota masyarakat sangat tergantung pada sistem yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dalam sistem demokrasi, landasan persamaan untuk memperoleh titik tengah adalah kebebasan manusia yang sederajat sejak kelahirannya. Dalam sistem oligarki dasar persamaannya adalah tingkat kesejahteraan atau kehormatan saat kelahiran. Sedangkan dalam sistem aristokrasi dasar persamaannya adalah keistimewaan (excellent). Dasar yang berbeda tersebut menjadikan keadilan lebih pada makna persamaan sebagai proporsi. Ini adalah satu spesies khusus dari keadilan, yaitu titik tengah (intermediate) dan proporsi.
b. Perbaikan suatu bagian dalam transaksi

Arti khusus lain dari keadilan adalah sebagai perbaikan (rectification). Perbaikan muncul karena adanya hubungan antara orang dengan orang yang dilakukan secara sukarela. Hubungan tersebut adalah sebuah keadilan apabila masing-masing memperoleh bagian sampai titik tengah (intermediate), atau suatu persamaan berdasarkan prinsip timbal balik (reciprocity). Jadi keadilan adalah persamaan, dus ketidakadilan adalah ketidaksamaan. Ketidakadilan terjadi jika satu orang memperoleh lebih dari yang lainnya dalam hubungan yang dibuat secara sederajat.

Untuk menyamakan hal tersebut hakim atau mediator melakukan tugasnya menyamakan dengan mengambil sebagian dari yang lebih dan memberikan kepada yang kurang sehingga mencapai titik tengah. Tindakan hakim ini dilakukan sebagai sebuah hukuman. Hal ini berbeda apabila hubungan terjalin bukan atas dasar kesukarelaan masing-masing pihak. Dalam hubungan yang tidak didasari ketidaksukarelaan berlaku keadilan korektif yang memutuskan titik tengah sebagai sebuah proporsi dari yang memperoleh keuntungan dan yang kehilangan. Tindakan koreksi tidak dilakukan dengan semata-mata mengambil keuntungan yang diperoleh satu pihak diberikan kepada pihak lain dalam arti pembalasan. Seseorang yang melukai tidak diselesaikan dengan mengijinkan orang yang dilukai untuk melukai balik Timbal balik dalam konteks ini dilakukan dengan pertukaran atas nilai tertentu sehingga mencapai taraf proporsi. Untuk kepentingan pertukaran inilah digunakan uang. Keadilan dalam hal ini adalah titik tengah antara tindakan tidak adil dan diperlakukan tidak adil. Keadilan dan ketidakadilan selalui dilakukan atas kesukarelaan. Kesukarelaan tersebut meliputi sikap dan perbuatan. Pada saat orang melakukan tindakan secara tidak sukarela, maka tindakan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tidak adil ataupun adil, kecuali dalam beberapa cara khusus. Melakukan tindakan yang dapat dikategorikan adil harus ada ruang untuk memilih sebagai tempat pertimbangan. Sehingga dalam hubungan antara manusia ada beberapa aspek untuk menilai tindakan tersebut yaitu, niat, tindakan, alat, dan hasil akhirnya. Ketika ;

1. Kecideraan berlawanan deengan harapan rasional, adalah sebuah kesalahansasaran (misadventure),

2. Ketika hal itu tidak bertentangan dengan harapan rasional, tetapi tidak menyebabkan tindak kejahatan, itu adalah sebuah kesalahan,

3. Ketika tindakan dengan pengetahuan tetapi tanpa pertimbangan, adalah tindakan ketidakadilan, dan

4. Seseorang yang bertindak atas dasar pilihan, dia adalah orang yang tidak adil dan orang yang jahat.

Melakukan tindakan yang tidak adil adalah tidak sama dengan melakukan sesuatu dengan cara yang tidak adil. Tidak mungkin diperlakukan secara tidak adil apabila orang lain tidak melakukan sesuatu secara tidak adil. Mungkin seseorang rela menderita karena ketidakadilan, tetapi tidak ada seorangpun yang berharap diperlakukan secara tidak adil.
Dengan demikian memiliki makna yang cukup luas, sebagian merupakan keadilan yang telah ditentukan oleh alam, sebagian merupakan hasil ketetapan manusia (keadilan hukum). Keadilan alam berlaku universal, sedangkan keadilan yang ditetapkan manusia tisak sama di setiap tempat. Keadilan yang ditetapkan oleh manusia inilah yang disebut dengan nilai. Akibat adanya ketidak samaan ini maka ada perbedaan kelas antara keadilan universal dan keadilan hukum yang memungkinkan pembenaran keadilan hukum. Bisa jadi semua hukum adalah universal, tetapi dalam waktu tertentu tidak mungkin untuk membuat suatu pernyataan universal yang harus benar. Adalah sangat penting untuk berbicara secara universal, tetapi tidak mungkin melakukan sesuatu selalu benar karena hukum dalam kasus-kasus tertentu tidak terhindarkan dari kekeliruan. Saat suatu hukum memuat hal yang universal, namun kemudian suatu kasus muncul dan tidak tercantum dalam hukum tersebut. Karena itulah persamaan dan keadilan alam memperbaiki kesalahan tersebut.

C. John Rawls

Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls yang hidup pada awal abad 21 lebih menekankan pada keadilan sosial. Hal ini terkait dengan munculnya pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan negara pada saat itu. Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah

1. jaminan stabilitas hidup manusia, dan

2. keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama. Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah struktur dasar masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan terpenuhi.

Kategori struktur masyarakat ideal ini digunakan untuk ;
1. menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil atau tidak
2. melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial.

Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidakadilan adalah situsi sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana prinsip-prinsip keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik. Koreksi atas ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for redress) masyarakat pada posisi asli (people on original position). Dalam posisi dasar inilah kemudian dibuat persetujuan asli antar (original agreement) anggota masyarakat secara sederajat.

Ada tiga syarat suapaya manusia dapat sampai pada posisi asli, yaitu:

1. Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih seorang pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah bakatnya, intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, dan aspek sosial yang lain.

2. Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten untuk memegang pilihannya tersebut.

3. Diandaikan bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu dan baru kemudian kepentingan umum. Ini adalah kecenderungan alami manusia yang harus diperhatikan dalam menemukan prinsip-prinsip keadilan.


Dalam menciptakan keadilan, prinsip utama yang digunakan adalah:

1. Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan semua pihak;

2. Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang paling lemah. Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan yang adil atas kesempatan.
Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari keadilan, yaitu:
a. Kebebasan yang sebesar-besarnya sebagai prioriotas,

b. Perbedaan,

c. Persamaan yang adil atas kesempatan.

Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai kepentingannya terlebih dahulu baru kemudian kepentingan umum. Hasrat ini adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran pencapaian keadilan. Maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini. Namun realitas masyarakat menunjukan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya terwujud karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat. Perbedaan ini menjadi dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila sudah ada persamaan derajat, maka semua harus memperoleh kesempatan yang sama untuk memenuhi kepentingannya. Walaupun nantinya memunculkan perbedaan, bukan suatu masalah asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama.



Fakta Hari ini:

Minah seorang nenek berumur 55 tahun yang divonis bersalah karena mengambil tiga buah cokelat. Minah dengan lugunya mengaku bersalah, tetapi dengan pemaknaan pengakuan itu adalah gugatan terhadap penegakan hukum di negeri ini.

Sebagai rakyat jelata, Minah sudi mengakui kekeliruan dan berhadapan dengan proses peradilan yang oleh banyak pihak dinilai kurang menempatkan rasa keadilan lebih daripada produk-produk mati berupa aturan-aturan hukum.tidak salah jika peristiwa itu sesungguhnya layak menjadi bagian integral dari kritik rakyat terhadap sikap pemerintahan yang cenderung abai terhadap perwujudan rasa keadilan public dan pilih kasih untu menegakkan keadilan.

Tidak mengherankan pula jika di hadapkan dengan fakta itu setelah rentetan aksi masa dan desakan publik terkait dengan kasus yang sempat menyeret komisioner KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dan pencopotan Susno Duadji dari jabatan sebagai KBRKMP tidak mengejutkan, dan tidak terasa luar biasa.

Mengapa? Karena tampaknya bukan soal orang per orang. Meskipun banyak tokoh gerakan anti korupsi mendesak agar Presiden memerintankan jajaran di bawahnya, khususnya kejakssan agung dan kepolisian, untuk mengusut tuntas nama-nama yang yang disebut dalam rekaman pembicaraan Anggodo Widjaja, namun-tampaknya-inti gugatan public tidak pada pokok itu saja.

Lebih dari itu, masyarakat mengginginkan adanya perubahan subtansial atas proses penegakan hukum dan perwujudan keadilan di Indonesia.langkah utama untuk itu ialah mereformasikan instansi-instansi penegakan hukum, yang dinilai rentan terhadap korupsi dan mafia peradilan.

Apa yang terwujud dalam gerakan moral public-yang mengental dalam gerakan anti korupsi-menurut Ketua Masyarakat Pemantauan Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hasri Hartanto, sesungguhnya adalah bentuk kritik warga kepada kondisi peradilan yang tidak adil, “Gerakan tersebut adalah kekecewaan masyarakat terhadap proses penegakan hukum yang terkesan pandang bulu”

Kekuatan kekuasaan dan uang sangat berpengaruh dalam proses penegakan hukum di Indonesia, ini salah satu alasan keadilan tidak bisa di ciptakan di Indonesia sebelum adanya reformasi secara keseluruhan atau dengan kata lain belum adanya suatu ketentuan yang dapat mengikat instansi-instansi penegakan hukum di Indonesia.

Banyak informasi baik dari media cetak maupun elektronik tentang ”cicak dan buaya” ini tidak lain adalah suatu tuntutan dari masyarakat kepada instansi-instansi penegakan hukum agar berlaku adil dalam penegakan hukum sehingga keadilan dapat di ciptakan di dalan suatu pemerintahan yang adil,aman dan sentosa.

Ketimpangan ini sudah menjadi penyakit akut yang kronis yang harus cepat di obati agar keadilan didalam penegakan hukum di Indonesia dapat tercipta, pemerintah harus menjadikan kritikan-kritikan yang dilakukan masyarakat, mahasiswa dan elemen-elemen lain menjadi sebuah kekuatan untuk mereformasikan instansi-instansi penegakan hukum.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Uraian dalam tulisan ini adalah secuil khasanah pemikiran keadilan yang berkembang sepanjang sejarah peradaban manusia, sesuai dengan semangat jamannya, situasi politik, dan pandangan hidup yang berkembang. Untuk mempelajari keadilan memang sebuah aktivitas yang tidak ringan, apalagi mencoba merumuskannya sesuai dengan semangat jaman saat ini.

Namun kesulitan tersebut bukan berarti bahwa studi-studi tentang keadilan harus dikesampingkan. Untuk kalangan hukum, studi keadilan merupakan hal yang utama, sebab keadilan adalah salah satu tujuan hukum, bahkan ada yang menyatakan sebagai tujuan utamanya.

Mempelajari hukum tanpa mempelajari keadilan sama dengan mempelajari tubuh tanpa nyawa. Hal ini berarti menerima perkembangan hukum sebagai fenomena fisik tanpa melihat desain rohnya. Akibatnya bisa dilihat bahwa studi hukum kemudian tidak berbeda dengan studi ilmu pasti rancang bangun yang kering dengan sentuhan keadilan.

Dari penjelasan Minah dan Cicak dan buaya di atas tidak lain adalah suatu kritikan, dan tuntutan masyarakat agar instansi-instansi penegakan hukum di Indonesia mewujudkan keadilan dan tidak pantang bulu dalam berbagai hal yang menyangkut masyarakat.

2. Saran

Dalam makalah ini masih ada kesalahan-kesalahan dan kekurangan kekurangan yang harus di perbaiki. Untuk itu penulis masih membutuhkan saran-saran ataupun kritika-kritikan yang dapat membangun kepada pembuatan makalah yang lebih baik


DAFTAR PUSTAKA

Beilharz, Peter. Ed. Teori-Teori Sosial. (Social Theory: A Guide to Central Thinkers). Diterjemahkan oleh: Sigit Jatmiko. Cetakan I. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2002.

Chand, Hari. Modern Jurisprudence. Kuala Lumpur. International Law Book Services. 1994.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 1995.

Friedmann, W. Teori Dan Filsafat Hukum. (Legal Theory). Diterjemahkan oleh:

Mohamad Arifin. Susunan I. Cetakan II. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 1993

Teori Dan Filsafat Hukum. (Legal Theory). Diterjemahkan oleh: Mohamad Arifin.

Susunan II. Cetakan II. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada. 1993.
Hart, H.L.A. .The Concept Of Law. Tenth Impression. London. Oxford University Press. 1961.

Kelsen, Hans. Introduction To The Problems Of Legal Theory. (Reine Rechtslehre). First Edition. Translated by: Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson. Oxford. Clarendon Press Oxford. 1996.

Noer, Deliar. Pemikiran Politik Di Negeri Barat. Edisi Revisi. Cetakan II. Jakarta. Pustaka Mizan. 1997.Popper, Karl R. Masyarakat Terbuka dan Musuh-Musuhnya. (Open Society and Its Enemies). Diterjemahkan oleh:Uzair Fauzan. Cetakan I. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2002.

Media Massa:Rahardjo, Satjipto. “52 Tahun Negara hokum Indonesia, Negara Hukum dan Deregulasi Moral”. Harian Kompas. 13 Agustus 1997.