Jumat, 28 Oktober 2011

Ushul Fiqh



BAB I
PENDAHULUAN

A.            LATAR BELAKANG
Al-quran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad melalui pelentara malaikat Jibril yang menjadi petunjuk bagi umat manusia. Umat Islam sepakat al-quran dan yang termuat dalam mushaf adalah autentik (semuanya adalah betul-betul dari allah).
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa seluruh ayat al-quran dari segi lafaz dan wurudnya adalah qath’i (meyakinkan) serta tidak ada keraguan di dalamnya.

B.            RUMUSAN MASALAH
1.    Mejelaskan pengertian Al-Qur’an.
2.    Menjelaskan kedudukan atau kehujjahan Al-Qu’ran.
3.    Menjelaskan dalalah Al-Qur’an terhadap hukumnya.
4.    Menjelaskan makna Al-Qur’an.
5.    Mengetahui penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum.

C.            TUJUAN
1.    Agar kita mengetahui makna Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari
2.    Agar kita mengetahui kedudukan Al-Qur’an.
3.    Agar kita mengetahui dalalah Al-Qur’an terhadap hukum





BAB II
PEMBAHASAN

A.            PENGERTIAN AL-QUR’AN
Secara etimologi Al-Qur’an adalah artinya bacaan, berbicara tentang apa yang tertulis padanya, atau melihat dan menelaah. Kata Qur’an digunakan dalam arti sebagai nama kitab suci yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Bila di lafazkan dengan menggunakan Alif-Lam berarti untuk keseluruhan apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 9:[1]

Artinya:
“ Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”

Dari segi terminologi, Al-Qur’an adalah kalam allah berbahasa arab yang diturunkan kepada nabi muhammad SAW dengan perantara malaikat jibril serta diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf.[2]
Arti Al-Qur’an secara terminologis ditemukan dalam beberapa defenisi sebagai berikut:[3]
1.    Menurut Al-Syaukani mengartikan Al-Qur’an dengan: “kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW”.
2.    Defenisi Al-Qur’an yang dikemukakan oleh Abu Zahrah ialah: “kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW”.
3.    Menurut Al-Syarkhisi, Al-Qur’an adalah: “kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW”.
4.    Al-Amidi memberikan defenisi Al-Qur’an: “Al-Kitab adalah Al-Qur’an yang diturunkan”.
5.    Ibnu Subki mendefenisikan Al-Qur’an: “lafaz yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW., mengandung mukjizat setiap suratnya, yang beribadah membacanya”.

Dalam kajian ushul fiqh, Al-Qur’an juga disebut dengan beberapa nama:

a.   Al-qitab
               Adalah tulisan atau buku. Arti ini mengingatkan pada kita kaum muslimin agar Al-Qur’an dibukukan atau ditulis menjadi suatu buku.[4]
b.      Al-Furqan
               Adalah pembeda. Hal ini mengingatkan kita agar dalam mencari garis pemisah antara yang hak dan yang bathil, yang baik dan yang buruk haruslah merujuk padanya.
c.      Al-zikr
               Yaitu ingat. Arti menunjukan bahwa al-qur’an berisi peringatan agar tuntutannya selalu diingat dalam melakukan setiap tindakan.
d.   Al-huda
Yaitu petunujuk. Arti ini mengingatkan bahwa petunjuk tentang kebenaran hanyalah petunjuk yang diberikan atau yang mempunyai rujukan kepada al-qur’an.


B.            KEDUDUKAN/KEHUJAHAN AL-QUR’AN
          Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber utama hukum islam yang diturunkan Allah dan wajib diamalkan. Seorang mujtahid tidak dibenarkan menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum membahas dan meneliti ayat-ayat al-qur’an.[5] Apabila hukum permasalahan yang ia cari tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, maka barulah mujtahid tersebut mempergunakan dalil lain.
Abdul Wahab Khallaf mengemukakan tentang kehujjahan al-quran dengan ucapannya sebagai berikut:
“Bukti bahwa al-quran menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya merupakan aturan-aturan wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena al-quran itu datang dari Allah dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang pasti dan tidak diragukan kesahaanya dan kebenarannya.”[6]
Ada beberapa alasan yang dikemukakan ulama ushul fiqh tentang kewajiban berhujjah dengan Al-Qur’an diantaranya adalah:
1.     Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah SAW diketahui secara mutawatir dan ini memberi keyakinan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah.
2.    Banyak ayat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu datangnya dari Allah, seperti surat Ali Imran: 3
3.    Mu’jizat al-qur’an merupakan dalil yang pasti tentang kebenaran Al-Qur’an datang dari Allah SWT.

          Kemukjizatan Al-Qur’an menurut para ahli ushul fiqh terlihat dengan jelas apabila:
1.    Adanya tantangan dipihak manapun.
2.    Adanya unsur-unsur yang menyebabkan munculnya tantangan tersebut. Seperti orang kafir yang tidak percaya akan kebenaran Al-Qur’an.
3.               Tidak ada penghalang bagi munculnya tantangan tersebut.
Unsur-unsur yang membuat Al-Qur’an itu menjadi mu’jizat yang tidak mampu ditandingi akal manusia, diantaranya adalah:
1.    Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya.
2.    Dari segi pemberitaan-pemberitaan ghaib yang dipaparkan Al-Qur’an.
3.    Isyarat-isyarat ilmiah yang dikandung Al-Qur’an.

C.            DALALAH  AL-QUR’AN TERHADAP HUKUM
Hukum-hukum yang terkandung dalam al-qur’an bersifat:
0.            Qath’i,
               yaitu lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tak bisa dipahami makna lainnya, seperti ayat-ayat waris hudud dan kaffarat, seperti surat An-Nur: 2 yang artinya “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka derablah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.
               Menurut para ulama ushul fiqh, ayat diatas mengandung hukum yang qath’I dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain.

1.                      Zhanny,
              yaitu lafal-lafal yang dalam Al-Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk dita’wilkan, misal lafal musytarak (mengandung pengertian ganda), yaitu kata guru yang mengandung dua makna, yaitu “suci dan haid”.
              Dalam surat Al-Maidah: 38 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah. Menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, Sesunggunya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.    
      Kata “tangan” kemungkinan yang dimaksud adalah tangan kanan / tangan kiri, dan juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan saja atau sampai di siku.
       Al-qur’an sebagai sumber utama hukum islam menjelaskan hukum-hukum yang terkandung didalamnya dengan cara:
1.            Penjelasan rinci (juz’i) terhadap sebagian hukum-hukum yang dikandungnya, berkaitan dengan masalah aqidah, hukum waris, uffud kaffarat.
2.            Penjelasan Al-Qur’an terhadap sebagian besar hukum-hukum itu bersifat global umum dan mutlak seperti masalah shalat, zakat, dan lain-lain.

D.           KEJELASAN MAKNA AL-QUR’AN
Ayat-ayat Al-Qur’an dari segi kejelasan artinya ada dua macam. Keduanya dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 7
Artinya:
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.


Penjelasan dari ayat diatas dapat disimpulkan:
1.    Ayat muhkam adalah ayat yang jelas maknanya, tersingkap secara terang, sehingga menghindarkan keraguan dalam mengartikannya dan menghilangkan adanya beberapa kemungkinan pemahaman.
2.     Ayat mustasyabih adalah kebalikan dari muhkam, yaitu ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat  dipahami dengan beberapa kemungkinan.
Ada beberapa kemungkinan pemahaman itu dapat disebabkan oleh 2 hal:
1.    Lafaz itu dapat digunakan untuk dua maksud dengan pemahaman yang sama.
2.    Lafaz yang menggunakan nama atau kiasan yang menurut lahirnya mendatangkan keraguan.

Dari segi penjelasan terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan Al-Qur’an:
1.     Secara Juz’i (terperinci)
Al-Qur’an menjelaskan secara terperinci. Allah dalam Al-Qur’an memberikan penjelasan secara lengkap, sehingga dapat dilaksanakan menurut apa adanya, meskipun tidak dijelaskan nabi dengan sunahnya.

2.     Secara Kulli (global)
Penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum berlaku secara garis besar, sehingga memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya.
3.     Secara isyarah
Al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan didalamnya dalam bentuk penjelasan secara ibarat.

E.                 PENJELASAN AL-QUR’AN TERHADAP HUKUM
Hukum Al-Qur’an dapat dibagi menjadi 3 macam:[7]
1.    Hukum I’tiqadiyah
Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, mengakui apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan keyakinan-Nya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan mempersekutukan-Nya.
2.    Hukum Khuluqiyah
Hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat yang baik yang harus dimiliki dan sifat yang buruk harus dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat.
3.    Hukum Amaliyah
Hukum yang menyangkut tindak tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya hubungan dengan Allah, dalam hubungan dengan sesama manusia, dan dalam apa-apa yang harus dilakukan dan dijauhi.

Hukum Amaliyah tersebut, secara garis besar terbagi dua:
1.    Hukum yang mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiriyah manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT. seperti sholat, puasa, zakat, dan haji.
2.    Hukum-hukum yang mengatur tingkah laku lahiriyah manusia dalam hubungannya dengan manusia atau alam sekitarnya, seperti jual beli, kawin, pembunuhan, dan lainnya.

Dilihat dari segi  pemberlakuannya bagi hubungan sesama manusia, bentuk hukum muamalah itu ada beberapa macam:
1.    Hukum muamalat dalam arti khusus.
Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang menyangkut kebutuhannya akan harta bagi keperluan hidupnya.
2.      Hukum munakahat.
Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan kebutuhannya akan penyaluran nafsu syahwat secara sah.
3.    Hukum mawarits dan wasiat.
Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang menyangkut perpindahan harta oleh sebab karena adanya kematian.
4.    Hukum jinayah atau pidana.
Hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan  manusia lainnya yang berkaitan dengan usaha pencegahan terjadinya kejahatan atas harta, maupun kejahatan penyaluran nafsu syahwat atau menyangkut kejahatan dan sanksi bagi pelanggarnya.
5.    Hukum murafa’at atau qadha.
Hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia yang berkaitan dengan usaha penyelesaian akibat tindak kejahatan di pengadila



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara etimologi Al-Qur’an adalah artinya bacaan, berbicara tentang apa yang tertulis padanya, atau melihat dan menelaah. Kata Qur’an digunakan dalam arti sebagai nama kitab suci yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Dari segi terminologi, Al-Qur’an adalah kalam allah berbahasa arab yang diturunkan kepada nabi muhammad SAW dengan perantara malaikat jibril serta diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf.
Unsur-unsur yang membuat Al-Qur’an itu menjadi mu’jizat yang tidak mampu ditandingi akal manusia, diantaranya adalah:
     1. Dari segi keindahan dan ketelitian redaksinya.
2. Dari segi pemberitaan-pemberitaan ghaib yang dipaparkan Al-Qur’an.
3. Isyarat-isyarat ilmiah yang dikandung Al-Qur’an.
Dari segi penjelasan terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan Al-Qur’an:
1.       Secara Juz’i (terperinci)
Al-Qur’an menjelaskan secara terperinci. Allah dalam Al-Qur’an memberikan penjelasan secara lengkap, sehingga dapat dilaksanakan menurut apa adanya, meskipun tidak dijelaskan nabi dengan sunahnya.
2.       Secara Kulli (global)
Penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum berlaku secara garis besar, sehingga memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya.
3.       Secara isyarah
Al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir disebutkan didalamnya dalam bentuk penjelasan secara ibarat.




DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqih 1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Uman, Chaerul,  Ushul Fiqh 1,Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.


Umar, Muin, Ushul Fiqih 1,Jakarta: IAIN Press, 1986.





[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih 1, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 55
[2] Chaerul Uman, Ushul Fiqh 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hal. 35
[3] Op.cit, Amir Syarifuddin, hal. 56
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 1 (Jakarta:Logos, 1998)
[5] http://diaz2000,multiply.com/jounal/item/3/3
[6] Muin Umar, Ushul Fiqih 1,  (Jakarta: IAIN Press, 1986), hal.70
[7] Op.cit, Amir Syarifuddin, hal. 83

Bantuan Hukum dan HAM


Istilah bantuan hukum terkait dengan profesi advokat. Advokat dalam bahasa Inggris merupakan kata benda (noun), berarti “orang yang berprofesi memberikan jasa konsultasi hukum dan/atau bantuan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan”, kini populer dengan sebutan pengacara (lawyer). Sedangkan dalam hukum Islam, term advokat berasal dari bahasa Arab, yakni al-mahamy, yang setara maknanya dengan pengacara (lawyer). Selain itu, dalam bahasa Inggris term advokat juga terkait dengan kata kerja (verb), advocacy yang berarti “suatu pekerjaan dalam bidang konsultasi hukum dan bantuan hukum untuk membantu mereka yang membutuhkan penyelesaian hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan”. Dalam konteks bahasa Arab, pekerjaan advokat tersebut disebut pula al-mahammah yang setara maknanya dengan kata advocacy.[1]
Untuk memperoleh definisi yang paling jelas, dalam tata hukum Indonesia istilah bantuan hukum dapat ditemukan dalam Bab I Pasal 1 Poin 9 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, bahwa bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh advokat secara cuma-cuma kepada klien yang tidak mampu. Sedangkan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang. Adapun organisasi advokat atau lembaga bantuan hukum adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan undang-undang. Adapun definisi jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.[2]
Ide dasar bantuan hukum diklaim oleh sebagian orang berasal dari tradisi hukum Barat yang dikenal sejak fase pencerahan (the enlightenment age), di mana muncul gagasan gerakan kebebasan dan demokrasi.[3] Sebagian pendapat juga menyebutkan bahwa bantuan hukum sudah ada sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno, yakni ketika para filosof Yunani mendiskusikan beberapa aspek yang berkaitan dengan Tuhan, Alam dan Manusia. Kemudian, seiring dengan kuatnya pengaruh gerakan hak asasi manusia (HAM) pada abad ke-17 di dunia Barat, bantuan hukum bukan hanya menjadi nilai perjuangan bagi kaum lemah dan miskin, tetapi ia telah berkembang luas menjadi suatu institusi untuk para pencari keadilan bagi setiap orang.[4]
Jika dilacak dari konteks perkembangan pemikiran hukum di dunia Barat, gerakan bantuan hukum sangat dipengaruhi faham persamaan dan kebebasan. Misalnya, Socrates (470 SM399 SM) adalah salah satu filosof Yunani yang telah menjelaskan metode elenchos bagi penegakan hukum. Kemudian Plato (427 SM347 SM) yang juga menjelaskan filsafat idealisme tentang ajaran moral hukum. Menurut keduanya, hukum hanya bisa ditegakan apabila setiap individu memiliki kesadaran moral dan etika untuk patuh kepada hukum itu sendiri.[5]
Bahkan pada tahun 204 SM, Kaisar Claudius telah melegislasikan peran para advokat (lawyers) sebagai suatu profesi di bidang bantuan hukum. Dalam perkembangannya, para lawyer itu disebut sebagai para legal yang memiliki kemampuan melakukan debat, orasi dan pembelaan hukum di pengadilan seperti halnya di zaman Yunani Kuno. Mereka umumnya bekerja secara profesional dan memperoleh upah (The Satires of Juneval). Selain itu, merekapun berperan sebagai konsultan hukum (iuris colsultis), membuat pendapat hukum (legal opinion atau responsa) dan merespon masalah hukum di kalangan masyarakat (a practice known as publice respondere), tidak jarang para penguasa, raja dan gubernur di zaman Romawi meminta pendapat hukum dari para legal untuk menetapkan keputusan hukum secara tepat, detail dan teknis.[6]
Kemudian pada abad ke-IV SM, bantuan hukum (legal aid atau legal service) diidentikan pula dengan “para orator”. Mereka diidentikan dengan dua hal: Pertama, golongan orang-orang yang memiliki pengetahuan luas, berpendidikan dan selalu berjuang bukan hanya untuk membela hak-haknya di depan hukum dan kekuasaan; dan Kedua, dikenal sebagai para legal yang membela orang-orang lemah dan miskin untuk mendapatkan keadilan di depan hukum dan pengadilan.[7] Kedua aspek tersebut menjadi dasar bagi adanya peran para advokat (lawyers) dan bantuan hukum dalam praktik peradilan.
Thomas Hobbes dikenal sebagai pemikir Barat pada abad ke-15 yang banyak menjelaskan tentang konsep hak alami (natural rights) dalam ajaran filsafat moral dan politik (moral and political philosophy). Pemikirannya banyak ditemukan dalam buku Leviathan, di mana hak alami (natural rights) adalah sesuatu yang sangat universal dan inheren dengan etika dan tidak terbatas pada tindakan dan keyakinan manusia. Faham ini sangat dipengaruhi oleh teori hukum alam (natural law) yang berkembang pesat di Barat pada abad pencerahan (the englightenment age).
Hobbes menekankan bahwa hak azasi (the rights) sangat dibatasi oleh ukuran-ukuran dan standar-standar keuniversalitasannya, sedangkan hak alami (natural rights) dibatasi oleh institusi-institusi sosial. Sehingga untuk menentukan suatu ukuran keadilan di depan hukum tidak hanya dilakukan melalui sebuah kesepakatan kolektif (social contract), tetapi juga diatur melalui sistem kekuasaan politik (political authority). Implikasinya hak-hak sipil, politik dan hukum harus bebas dan merdeka dari pengaruh penguasa, sebab rakyatlah yang menentukan semua bentuk kedaulatan (the people as the highest of sovereign authority). Pemahaman semacam ini kemudian dikenal dengan teori kontrak sosial (social contact theory).[8]
Dalam perkembangannya, di dunia Barat dikenal pula filsafat hukum alam (lex naturalis atau natural law atau natural rights), terutama memasuki abad ke-19 dan 20 muncul gerakan hak azasi manusia (human rights movement), di mana setiap orang diyakini memiliki persamaan hak dan kebebasan. Atas dasar itu pula, lahirnya prinsip persamaan hak hukum (equality before the law) dan persamaan hak mendapatkan keadilan (access to justice). Gerakan HAM tersebut sangat mempengaruhi lahirnya gerakan bantuan hukum (legal aid movement) di negara-negara Eropa, Britania Raya, Amerika Serikat, Canada dan Australia. Bahkan dalam perkembangannya, hak atas bantuan hukum telah digaransi dalam konstitusi negara di negara-negara tersebut.[9]
Kemudian memasuki era modern, bantuan hukum terkait dengan teori-teori penegakan hukum di pengadilan. Dalam kajian filsafat hukum Barat, dikenal teori-teori penegakan hukum. Misalnya, Teori Kebebasan Demokrasi – Alan C. Reiter menjadi dasar bagi lahirnya teori penegakan hukum berdasarkan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) dan persamaan hak mendapatkan keadilan di depan hukum (access to justice). Kemudian Karl Heinrich Marx (5 Mei 1818–14 Maret 1883) dengan teori konfliknya menjelaskan bahwa pendekatan mediasi konflik yang dilakukan oleh Marx ini menjadi dasar bagi upaya bantuan hukum (legal aid) di pengadilan untuk memperjuangkan hak-hak orang lemah dan miskin atas penindasan kaum Borjuis.[10]
Seperti dijelaskan Mauro Cappalletti, bantuan hukum telah dimulai sejak zaman Romawi kuno. Pada setiap zaman, arti dan tujuan pemberian bantuan hukum erat hubungannya dengan nilai-nilai moral, pandangan politik dan falsafah hukum yang berlaku. Menurut Cappalletti, sebagaimana dipetik oleh Adnan Buyung Nasution, bahwa pada zaman Romawi pemberian bantuan hukum oleh Patronus hanyalah didorong oleh motivasi untuk mendapatkan pengaruh dalam masyarakat. Pada abad pertengahan, masalah bantuan hukum ini mendapat motivasi baru, yaitu keinginan semua orang untuk berlomba-lomba memberikan derma (charity) dalam bentuk membantu pihak si miskin dan bersama-sama dengan itu tumbuh pula nilai-nilai kemuliaan (notability) dan kesatriaan (chivalry) yang sangat diragukan orang.[11]
Dalam perkembangan kemudian, tepatnya sejak zaman revolusi Perancis dan Amerika sampai di zaman ini, motivasi pemberian bantuan hukum bukan hanya charity, melainkan mengkristal menjadi hak-hak politik atau hak-hak warga negara yang harus dituangkan dalam setiap konstitusi. Terlebih lagi dalam zaman mutakhir sekarang ini, bantuan hukum bukan semata-mata tuntutan konstitusional, tetapi juga menjadi cita-cita ideal negara modern yang sejahtera (welfare state). Ia terkait dengan HAM terutama ide bagi memperjuangkan hak-hak hukum bagi setiap setiap individu, baik dalam kemasyarakatan, di depan hukum, maupun Negara. Atas dasar itu pula, di setiap negara maju seperti di Eropa dan Amerika melihat bantuan hukum sebagai tanggung jawab negara bagi kesejahteraan dan keadilan sosial seluruh warga negara.
Di Indonesia, pelacakan terhadap sejarah bantuan hukum agak sulit ditemukan. Di samping ketiadaan literatur yang cukup memadai tentang sejarah bantuan hukum di Indonesia, juga rentetan peristiwa yang menjadi penyebab lahirnya bantuan hukum baru bergulir di awal tahun 1970-an ditandai dengan penyelenggaraan Kongres Ke-III Peradin 18-20 Agustus 1969.[12] Hemat penulis, pelacakan bantuan hukum di Indonesia lebih mudah dilacak sejak didirikan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1970 yang didukung Ali Sadikin (Gubernur DKI). Pada tanggal 13 Maret 1980 LBH dikukuhkan menjadi YLHBI. 20 tahun sebelum itu, organisasi sosial Tjandra Naya yang berdiri pada tahun 1950 di Jakarta, secara sederhana telah mengawali dan merintis bantuan hukum di Indonesia, meskipun baru sebatas bantuan hukum bagi warga keturunan Tionghoa.
Kalangan praktisi hukum di Indonesia menyebut bantuan hukum sebagai salah satu instrumen penegakan hukum dan hak azasi manusia yang terkait dengan access to justice. Misalnya saja, Achmad Santosa mendefinisikan term access to justice dengan kemampuan rakyat untuk mempertahankan, memperjuangkan hak-hak dasar dan memperoleh pemulihan hak-hak yang dilanggar melalui lembaga formal dan informal yang sejalan dengan standar hak asasi manusia. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa access to justice merupakan kemampuan rakyat dalam mencari dan memperoleh pemulihan hak-haknya melalui institusi peradilan baik secara formal maupun informal sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia.[13]
Munculnya gerakan advokasi dan praktik bantuan hukum kepada masyarakat yang tertindas dan terpinggirkan telah menjadi daya dobrak yang sangat ampuh dari kalangan praktisi hukum untuk berperan lebih proaktif membela mereka dalam ranah bantuan hukum dan pemenuhan hak asasi manusia. Namun sayangnya, bantuan hukum belum maksimal karena masih terhambat masalah regulasi di mana belum adanya perundang-undangan tersendiri tentang bantuan hukum. Bantuan hukum kini hanya menjadi sub materi yang dimuat dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat .
Kemampuan praktisi bantuan hukum dalam memberikan pelayanan bantuan hukum secara professional dan dibarengi dengan kekuatan akses pada tingkat birokrasi, telah memperkokoh eksistensi dan posisi mereka lebih dari sekedar pengacara dan advokat, tetapi juga mediator dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hukum di dalam peradilan (litigasi) dan di luar peradilan (non-litigasi). Meskipun dalam kenyataan saat ini, usaha mereka terkadang dianggap bias antara kepentingan membela keadilan dengan tujuan material atas nama profesionalisme.
Bantuan Hukum Sebagai Hak Asasi Manusia
Bantuan hukum adalah hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 34 UUD 1945 di mana di dalamnya ditegaskan bahwa fakir miskin adalah menjadi tanggung jawab negara. Terlebih lagi prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan hak untuk di bela Advokat (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka tercapainya pengentasan masyarakat Indonesia dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum.[11]
Dan pada perkembangannya Meskipun telah di amandemen empat kali, Dalam Undang Undang Dasar 1945 (UUD 45) sebagai konstitusi tertinggi negara Indonesia, pasal pasal tentang perlindungan terhadap Hak hak asasi manusia selalu terjamin, tidak terkecuali dengan jaminan terhadap perlakuan yang sama di hadapan hukum seperti yang termaktub dalam pasal 28D UUD 1945 ayat 1 yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum

Oleh karena itu, Bantuan hukum adalah hak asasi semua orang, yang bukan diberikan oleh negara dan bukan belas kasihan dari negara, hal ini penting karena sering kali bantuan hukum diartikan sebagai belas kasihan bagi yang tidak mampu. Selain membantu orang miskin bantuan hukum juga merupakan gerakan moral yang memperjuangkan hak asasi manusia. Oleh karena itu, hak tersebut tidak dapat dikurangi, dibatasi apalagi diambil, karena itu sebuah keharusan.

[1] Pengantar untuk laporan utama Majalah Keadilan Edisi I/XXXII/2007
[2] Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, staff Litbang LPM Keadilan FH UII
[3] Pada pekembangannya pemahaman bantuan hukum tidak hanya pada sektor litigasi, tetapi juga pada sektor non litigasi, hal ini perlu dilakukan dikarenakan semakin berkembangnya hukum dan semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat.
[4] Abdurrahman, Aspek aspek bantuan hukum di indonesia, Ctk pertama, cendana press

zakat profesi



Hukum-hukum Zakat

oleh Dr. Yusuf Qardhawi

Barangkali bentuk  penghasilan  yang  paling  menyolok  pada
zaman  sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan
dan profesinya.
 
Pekerjaan yang menghasilkan  uang  ada  dua  macam.  Pertama
adalah  pekerjaan  yang  dikerjakan sendiri tanpa tergantung
kepada orang lain, berkat  kecekatan  tangan  ataupun  otak.
Penghasilan   yang   diperoleh  dengan  cara  ini  merupakan
penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor,
insinyur,   advokat   seniman,  penjahit,  tukang  kayu  dan
lain-lainnya.
 
Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang  buat
pihak  lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan
dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak,
ataupun  kedua-  duanya.  Penghasilan dari pekerjaan seperti
itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.
 
Wajibkah kedua macam penghasilan  yang  berkembang  sekarang
itu   dikeluarkan   zakatnya   ataukah  tidak?  Bila  wajib,
berapakah nisabnya, besar zakatnya, dan  bagaimana  tinjauan
fikih Islam tentang masalah itu?
 
Pertanyaan-pertanyaan   tersebut   perlu  sekali  memperoleh
jawaban pada masa sekarang, supaya setiap  orang  mengetahui
kewajiban   dan  haknya.  Bentuk-bentuk  penghasilan  dengan
bentuknya yang modern, volumenya yang besar,  dan  sumbernya
yang  luas  itu,  merupakan  sesuatu yang belum dikenal oleh
para ulama fikih pada masa silam. Kita  menguraikan  jawaban
pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam tiga pokok fasal:
 
1. Pandangan fikih tentang penghasilan dan profesi, serta
   pendapat para ulama fikih pada zaman dulu dan sekarang
   tentang hukumnya, serta penjelasan tentang pendapat yang
   kuat.
2. Nisab, besarnya, dan cara menetapkannya.
3. Besar zakatnya.
 
 
PANDANGAN FIKIH TENTANG PENGHASILAN DAN PROFESI
 
PENDAPAT MUTAKHIR
 
Guru-guru seperti Abdur Rahman Hasan,  Muhammad  Abu  Zahrah
dan  Abdul  Wahab  Khalaf  telah  mengemukakan persoalan ini
dalam ceramahnya tentang zakat di Damaskus pada tahun  1952.
Ceramah  mereka  tersebut  sampai pada suatu kesimpulan yang
teksnya sebagai berikut:
 
"Penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya  bila  sudah
setahun  dan  cukup  senisab.  Jika  kita  berpegang  kepada
pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan  Muhammad  bahwa  nisab
tidak  perlu  harus  tercapai  sepanjang  tahun,  tapi cukup
tercapai penuh  antara  dua  ujung  tahun  tanpa  kurang  di
tengah-tengah   kita   dapat   menyimpulkan   bahwa   dengan
penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas
hasil  penghasilan  setiap  tahun,  karena  hasil itu jarang
terhenti sepanjang tahun bahkan  kebanyakan  mencapai  kedua
sisi  ujung  tahun  tersebut.  Berdasar  hal itu, kita dapat
menetapkan hasil penghasilan sebagai  sumber  zakat,  karena
terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fikih
sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat."
 
"Dan karena Islam mempunyai ukuran bagi  seseorang - untuk
bisa  dianggap  kaya - yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran
Junaih Mesir lama maka ukuran itu harus terpenuhi pula  buat
seseorang  untuk  terkena  kewajiban  zakat,  sehingga jelas
perbedaan antara orang  kaya  yang  wajib  zakat  dan  orang
miskin penerima zakat.
 
Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah
senisab itu cukup terdapat pada awal dan  akhir  tahun  saja
tanpa  harus  terdapat  di  pertengahan tahun. Ketentuan itu
harus  diperhatikan  dalam  mewajibkan  zakat   atas   hasil
penghasilan  dan  profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang
tergolong kaya dan  siapa  yang  tergolong  miskin,  seorang
pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut."
 
Mengenai  besar  zakat,  mereka mengatakan, "Penghasilan dan
profesi, kita tidak menemukan contohnya dalam fikih,  selain
masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan Ahmad. Ia
dilaporkan berpendapat  tentang  seseorang  yang  menyewakan
rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa
orang   tersebut   wajib   mengeluarkan   zakatnya    ketika
menerimanya   tanpa   persyaratan   setahun.  Hal  itu  pada
hakikatnya   menyerupai   mata   penghasilan,   dan    wajib
dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab."
 
Hal  itu  sesuai  dengan  apa yang telah kita tegaskan lebih
dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja  yang  penghasilannya
tidak  mencapai  nisab  seperti  yang  telah  kita tetapkan,
meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup  pada
akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab
yang telah berumur setahun.
 
GAJI DAN UPAH ADALAH HARTA PENDAPATAN
 
Akibat dari tafsiran itu, kecuali yang menentang, - adalah
bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau semacamnya sebulan
dari dua belas bulan. Karena ketentuan  wajib  zakat  adalah
cukup nisab penuh pada awal tahun atau akhir tahun.
 
Yang  menarik  adalah pendapat guru-guru besar tentang hasil
penghasilan  dan  profesi  dan  pendapatan  dari  gaji  atau
lain-lainnya   di   atas,   bahwa   mereka  tidak  menemukan
persamaannya dalam fikih selain apa yang dilaporkan  tentang
pendapat   Ahmad   tentang   sewa   rumah   diatas.   Tetapi
sesungguhnya persamaan itu  ada  yang  perlu  disebutkan  di
sini, yaitu bahwa kekayaan tersebut dapat digolongkan kepada
kekayaan  penghasilan,  "yaitu   kekayaan   yang   diperoleh
seseorang  Muslim  melalui  bentuk  usaha  baru  yang sesuai
dengan syariat agama. Jadi pandangan  fikih  tentang  bentuk
penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah "harta penghasilan."
 
Sekelompok   sahabat   berpendapat   bahwa  kewajiban  zakat
kekayaan  tersebut  langsung,  tanpa  menunggu  batas  waktu
setahun.  Diantara  mereka  adalah  Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud,
Mu'awiyah, Shadiq, Baqir,  Nashir,  Daud,  dan  diriwayatkan
juga Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri, serta Auza'i.
 
Pendapat-pendapat dan sanggahan-sanggahan terhadap pendapat-
pendapat itu telah pernah ditulis dalam buku-buku yang sudah
berada  di  kalangan para peneliti, misalnya al-Muhalla oleh
Ibnu Hazm, jilid 4: 83 dan seterusnya  al-Mughni  oleh  Ibnu
Qudamah  jilid  2: 6 Nail-Authar jilid 4: 148 Rudz an-Nadzir
jilid 2; 41 dan Subul as-Salam jilid 2: 129.
 
MENCARI PENDAPAT YANG LEBIH KUAT TENTANG ZAKAT PROFESI
 
Yang mendesak, mengingat zaman  sekarang,  adalah  menemukan
hukum  pasti  "harta  penghasilan" itu, oleh karena terdapat
hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu  bahwa  hasil
penghasilan,   profesi,   dan   kekayaan   non-dagang  dapat
digolongkan  kepada  "harta  penghasilan"   tersebut.   Bila
kekayaan   dari   satu   kekayaan,  yang  sudah  dikeluarkan
zakatnya, yang di dalamnya terdapat "harta penghasilan" itu,
mengalami   perkembangan,   misalnya  laba  perdagangan  dan
produksi binatang ternak maka perhitungan tahunnya disamakan
dengan  perhitungan  tahun induknya. Hal itu karena hubungan
keuntungan dengan induknya itu sangat erat.
 
Berdasarkan hal itu,  bila  seseorang  sudah  memiliki  satu
nisab binatang ternak atau harta perdagangan, maka dasar dan
labanya bersama-sama dikeluarkan zakatnya pada akhir  tahun.
Ini jelas. Berbeda dengan hal itu, "harta penghasilan" dalam
bentuk uang dari  kekayaan  wajib  zakat  yang  belum  cukup
masanya  setahun,  misalnya  seseorang  yang  menjual  hasil
tanamannya yang sudah dikeluarkan zakatnya 1/10  atau  1/20,
begitu  juga  seseorang  menjual  produksi ternak yang sudah
dikeluarkan zakatnya, maka  uang  yang  didapat  dari  harga
barang  tersebut  tidak dikeluarkan zakatnya waktu itu juga.
Hal itu untuk menghindari adanya  zakat  ganda,  yang  dalam
perpajakan dinamakan "Tumpang Tindih Pajak."
 
Yang   kita   bicarakan   disini,   adalah   tentang  "harta
penghasilan," yang  berkembang  bukan  dari  kekayaan  lain,
tetapi  karena penyebab bebas, seperti upah kerja, investasi
modal, pemberian, atau semacamnya, baik dari sejenis  dengan
kekayaan lain yang ada padanya atau tidak.
 
Berlaku  jugakah ketentuan setahun penuh bagi zakat kekayaan
hasil kerja ini? Ataukah digabungkan dengan  zakat  hartanya
yang  sejenis dan ketentuan waktunya mengikuti waktu setahun
harta lainnya yang sejenis itu? Atau wajib  zakat  terhitung
saat   harta   tersebut   diperoleh   dan   susah  terpenuhi
syarat-syarat zakat  yang  berlaku  seperti  cukup  senisab,
bersih  dari  hutang,  dan  lebih  dari  kebutuhan-kebutuhan
pokok?
 
Yang jelas ketiga pendapat tersebut diatas  adalah  pendapat
ulama- ulama fikih meskipun yang terkenal banyak di kalangan
para ulama fikih itu adalah  bahwa  masa  setahun  merupakan
syarat  mutlak  setiap  harta benda wajib zakat, harta benda
perolehan maupun  bukan.  Hal  itu  berdasarkan  hadis-hadis
mengenai ketentuan masa setahun tersebut dan penilaian bahwa
hadis-hadis tersebut berlaku bagi  semua  kekayaan  termasuk
harta hasil usaha.
 
Di  bawah  ini  dijelaskan  tingkatan  kebenaran hadis-hadis
tentang ketentuan setahun tersebut dan sejauh mana para imam
hadis membenarkannya.
                                     

Apakah Gaji Termasuk Zakat Profesi?

Alif Magz - detikRamadan

Jakarta - Tanya:
Assalamualaikum Pak Ustadz. Dalam hukum Islam ada yang namanya zakat profesi. Yang saya ingin tanyakan apakah penghasilan dari gaji termasuk zakat profesi? Atau bagaimana pengenaan zakat atas gaji yang diterima setiap bulan? Wasalam.

(Arief, otoandung@gmail.com)

Jawab:
Penghasilan yang diperoleh seorang Mukmin dan yang sebagian darinya diperintahkan untuk dikeluarkan nafkahnya dibagi oleh al-Qur'an (QS al-Baqarah (2): 267) ke dalam dua bagian pokok: "hasil usaha yang baik-baik" dan "apa yang dikeluarkan Allah dari bumi," yakni hasil pertanian dan pertambangan.

Adapun yang dimaksud dengan "hasil usaha yang baik-baik", para ulama dahulu membatasinya pada hal-hal tertentu yang pernah ada di masa Rasulullah saw. dan yang ditetapkan oleh beliau sebagai yang harus dizakati. Inilah dahulu yang dimaksudkan dengan zakat penghasilan. Selebihnya, usaha manusia yang belum dikenal di masa Nabi dan sahabat beliau tidak termasuk yang harus dizakati. Jadi, yang demikian itu tidak dimaksudkan oleh sementara ulama dalam pengertian ayat di atas sebagai "hasil usaha yang baik."

Akan tetapi, kini telah muncul berbagai jenis usaha manusia yang menghasilkan pendapatan, baik secara langsung tanpa keterikatan dengan orang atau pihak lain seperti para dokter, konsultan, seniman, dan lain-lain, maupun yang disertai keterikatan dengan pemerintah atau swasta seperti gaji, upah, dan honorarium. Rasa keadilan dan hikmah adanya kewajiban zakat mengantar banyak ulama memasukkan profesi-profesi itu ke dalam pengertian "hasil usaha yang baik-baik."

Dengan demikian, mereka menyamakannya dengan zakat penghasilan atau perdagangan dan menetapkan persentase zakatnya sama dengan zakat perdagangan, yakni dua setengah persen dari hasil yang diterima setelah dikeluarkan segala biaya kebutuhan hidup yang wajar, dan sisa itu telah mencapai batas minimal dalam masa setahun, yakni senilai 85 gram emas murni.

Ada berbagai pendapat lain yang menganalogikan penghasilan dari profesi itu dengan zakat pertanian. Dalam hal ini, jika dia beroleh penghasilan senilai 653 kilogram hasil pertanian yang harganya paling murah, maka ketika itu juga dia harus menyisihkan lima atau sepuluh persen (tergantung pada kadar keletihan yang bersangkutan) dan tidak perlu menunggu batas waktu setahun.

Menurut hemat saya, pendapat pertama yang menyamakan zakat profesi dengan zakat perdagangan lebih bijaksana, karena hasil yang diterima biasanya berupa uang sehingga lebih mirip dengan perdagangan dan atau nilai emas dan perak. Demikian, wallahu a'lam.

(M Quraish Shihab)