Hukum-hukum Zakat
oleh Dr. Yusuf
Qardhawi
Barangkali bentuk penghasilan yang paling menyolok pada
zaman sekarang ini adalah apa yang diperoleh dari pekerjaan
dan profesinya.
Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam. Pertama
adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung
kepada orang lain, berkat kecekatan tangan ataupun otak.
Penghasilan yang diperoleh dengan cara ini merupakan
penghasilan profesional, seperti penghasilan seorang doktor,
insinyur, advokat seniman, penjahit, tukang kayu dan
lain-lainnya.
Yang kedua, adalah pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat
pihak lain-baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan
dengan memperoleh upah, yang diberikan, dengan tangan, otak,
ataupun kedua- duanya. Penghasilan dari pekerjaan seperti
itu berupa gaji, upah, ataupun honorarium.
Wajibkah kedua macam penghasilan yang berkembang sekarang
itu dikeluarkan zakatnya ataukah tidak? Bila wajib,
berapakah nisabnya, besar zakatnya, dan bagaimana tinjauan
fikih Islam tentang masalah itu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu sekali memperoleh
jawaban pada masa sekarang, supaya setiap orang mengetahui
kewajiban dan haknya. Bentuk-bentuk penghasilan dengan
bentuknya yang modern, volumenya yang besar, dan sumbernya
yang luas itu, merupakan sesuatu yang belum dikenal oleh
para ulama fikih pada masa silam. Kita menguraikan jawaban
pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam tiga pokok fasal:
1. Pandangan fikih tentang penghasilan dan profesi, serta
pendapat para ulama fikih pada zaman dulu dan sekarang
tentang hukumnya, serta penjelasan tentang pendapat yang
kuat.
2. Nisab, besarnya, dan cara menetapkannya.
3. Besar zakatnya.
PANDANGAN FIKIH TENTANG PENGHASILAN DAN PROFESI
PENDAPAT MUTAKHIR
Guru-guru seperti Abdur Rahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah
dan Abdul Wahab Khalaf telah mengemukakan persoalan ini
dalam ceramahnya tentang zakat di Damaskus pada tahun 1952.
Ceramah mereka tersebut sampai pada suatu kesimpulan yang
teksnya sebagai berikut:
"Penghasilan dan profesi dapat diambil zakatnya bila sudah
setahun dan cukup senisab. Jika kita berpegang kepada
pendapat Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bahwa nisab
tidak perlu harus tercapai sepanjang tahun, tapi cukup
tercapai penuh antara dua ujung tahun tanpa kurang di
tengah-tengah kita dapat menyimpulkan bahwa dengan
penafsiran tersebut memungkinkan untuk mewajibkan zakat atas
hasil penghasilan setiap tahun, karena hasil itu jarang
terhenti sepanjang tahun bahkan kebanyakan mencapai kedua
sisi ujung tahun tersebut. Berdasar hal itu, kita dapat
menetapkan hasil penghasilan sebagai sumber zakat, karena
terdapatnya illat (penyebab), yang menurut ulama-ulama fikih
sah, dan nisab, yang merupakan landasan wajib zakat."
"Dan karena Islam mempunyai ukuran bagi seseorang - untuk
bisa dianggap kaya - yaitu 12 Junaih emas menurut ukuran
Junaih Mesir lama maka ukuran itu harus terpenuhi pula buat
seseorang untuk terkena kewajiban zakat, sehingga jelas
perbedaan antara orang kaya yang wajib zakat dan orang
miskin penerima zakat.
Dalam hal ini, mazhab Hanafi lebih jelas, yaitu bahwa jumlah
senisab itu cukup terdapat pada awal dan akhir tahun saja
tanpa harus terdapat di pertengahan tahun. Ketentuan itu
harus diperhatikan dalam mewajibkan zakat atas hasil
penghasilan dan profesi ini, supaya dapat jelas siapa yang
tergolong kaya dan siapa yang tergolong miskin, seorang
pekerja profesi jarang tidak memenuhi ketentuan tersebut."
Mengenai besar zakat, mereka mengatakan, "Penghasilan dan
profesi, kita tidak menemukan contohnya dalam fikih, selain
masalah khusus mengenai penyewaan yang dibicarakan Ahmad. Ia
dilaporkan berpendapat tentang seseorang yang menyewakan
rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nisab, bahwa
orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika
menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada
hakikatnya menyerupai mata penghasilan, dan wajib
dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai satu nisab."
Hal itu sesuai dengan apa yang telah kita tegaskan lebih
dahulu, bahwa jarang seseorang pekerja yang penghasilannya
tidak mencapai nisab seperti yang telah kita tetapkan,
meskipun tidak cukup di pertengahan tahun tetapi cukup pada
akhir tahun. Ia wajib mengeluarkan zakat sesuai dengan nisab
yang telah berumur setahun.
GAJI DAN UPAH ADALAH HARTA PENDAPATAN
Akibat dari tafsiran itu, kecuali yang menentang, - adalah
bahwa zakat wajib dipungut dari gaji atau semacamnya sebulan
dari dua belas bulan. Karena ketentuan wajib zakat adalah
cukup nisab penuh pada awal tahun atau akhir tahun.
Yang menarik adalah pendapat guru-guru besar tentang hasil
penghasilan dan profesi dan pendapatan dari gaji atau
lain-lainnya di atas, bahwa mereka tidak menemukan
persamaannya dalam fikih selain apa yang dilaporkan tentang
pendapat Ahmad tentang sewa rumah diatas. Tetapi
sesungguhnya persamaan itu ada yang perlu disebutkan di
sini, yaitu bahwa kekayaan tersebut dapat digolongkan kepada
kekayaan penghasilan, "yaitu kekayaan yang diperoleh
seseorang Muslim melalui bentuk usaha baru yang sesuai
dengan syariat agama. Jadi pandangan fikih tentang bentuk
penghasilan itu adalah, bahwa ia adalah "harta penghasilan."
Sekelompok sahabat berpendapat bahwa kewajiban zakat
kekayaan tersebut langsung, tanpa menunggu batas waktu
setahun. Diantara mereka adalah Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud,
Mu'awiyah, Shadiq, Baqir, Nashir, Daud, dan diriwayatkan
juga Umar bin Abdul Aziz, Hasan, Zuhri, serta Auza'i.
Pendapat-pendapat dan sanggahan-sanggahan terhadap pendapat-
pendapat itu telah pernah ditulis dalam buku-buku yang sudah
berada di kalangan para peneliti, misalnya al-Muhalla oleh
Ibnu Hazm, jilid 4: 83 dan seterusnya al-Mughni oleh Ibnu
Qudamah jilid 2: 6 Nail-Authar jilid 4: 148 Rudz an-Nadzir
jilid 2; 41 dan Subul as-Salam jilid 2: 129.
MENCARI PENDAPAT YANG LEBIH KUAT TENTANG ZAKAT PROFESI
Yang mendesak, mengingat zaman sekarang, adalah menemukan
hukum pasti "harta penghasilan" itu, oleh karena terdapat
hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa hasil
penghasilan, profesi, dan kekayaan non-dagang dapat
digolongkan kepada "harta penghasilan" tersebut. Bila
kekayaan dari satu kekayaan, yang sudah dikeluarkan
zakatnya, yang di dalamnya terdapat "harta penghasilan" itu,
mengalami perkembangan, misalnya laba perdagangan dan
produksi binatang ternak maka perhitungan tahunnya disamakan
dengan perhitungan tahun induknya. Hal itu karena hubungan
keuntungan dengan induknya itu sangat erat.
Berdasarkan hal itu, bila seseorang sudah memiliki satu
nisab binatang ternak atau harta perdagangan, maka dasar dan
labanya bersama-sama dikeluarkan zakatnya pada akhir tahun.
Ini jelas. Berbeda dengan hal itu, "harta penghasilan" dalam
bentuk uang dari kekayaan wajib zakat yang belum cukup
masanya setahun, misalnya seseorang yang menjual hasil
tanamannya yang sudah dikeluarkan zakatnya 1/10 atau 1/20,
begitu juga seseorang menjual produksi ternak yang sudah
dikeluarkan zakatnya, maka uang yang didapat dari harga
barang tersebut tidak dikeluarkan zakatnya waktu itu juga.
Hal itu untuk menghindari adanya zakat ganda, yang dalam
perpajakan dinamakan "Tumpang Tindih Pajak."
Yang kita bicarakan disini, adalah tentang "harta
penghasilan," yang berkembang bukan dari kekayaan lain,
tetapi karena penyebab bebas, seperti upah kerja, investasi
modal, pemberian, atau semacamnya, baik dari sejenis dengan
kekayaan lain yang ada padanya atau tidak.
Berlaku jugakah ketentuan setahun penuh bagi zakat kekayaan
hasil kerja ini? Ataukah digabungkan dengan zakat hartanya
yang sejenis dan ketentuan waktunya mengikuti waktu setahun
harta lainnya yang sejenis itu? Atau wajib zakat terhitung
saat harta tersebut diperoleh dan susah terpenuhi
syarat-syarat zakat yang berlaku seperti cukup senisab,
bersih dari hutang, dan lebih dari kebutuhan-kebutuhan
pokok?
Yang jelas ketiga pendapat tersebut diatas adalah pendapat
ulama- ulama fikih meskipun yang terkenal banyak di kalangan
para ulama fikih itu adalah bahwa masa setahun merupakan
syarat mutlak setiap harta benda wajib zakat, harta benda
perolehan maupun bukan. Hal itu berdasarkan hadis-hadis
mengenai ketentuan masa setahun tersebut dan penilaian bahwa
hadis-hadis tersebut berlaku bagi semua kekayaan termasuk
harta hasil usaha.
Di bawah ini dijelaskan tingkatan kebenaran hadis-hadis
tentang ketentuan setahun tersebut dan sejauh mana para imam
hadis membenarkannya.
Apakah Gaji Termasuk Zakat Profesi?
Alif Magz - detikRamadan
Jakarta
- Tanya:
Assalamualaikum Pak Ustadz. Dalam hukum Islam ada yang namanya zakat profesi. Yang saya ingin tanyakan apakah penghasilan dari gaji termasuk zakat profesi? Atau bagaimana pengenaan zakat atas gaji yang diterima setiap bulan? Wasalam.
(Arief, otoandung@gmail.com)
Jawab:
Penghasilan yang diperoleh seorang Mukmin dan yang sebagian darinya diperintahkan untuk dikeluarkan nafkahnya dibagi oleh al-Qur'an (QS al-Baqarah (2): 267) ke dalam dua bagian pokok: "hasil usaha yang baik-baik" dan "apa yang dikeluarkan Allah dari bumi," yakni hasil pertanian dan pertambangan.
Adapun yang dimaksud dengan "hasil usaha yang baik-baik", para ulama dahulu membatasinya pada hal-hal tertentu yang pernah ada di masa Rasulullah saw. dan yang ditetapkan oleh beliau sebagai yang harus dizakati. Inilah dahulu yang dimaksudkan dengan zakat penghasilan. Selebihnya, usaha manusia yang belum dikenal di masa Nabi dan sahabat beliau tidak termasuk yang harus dizakati. Jadi, yang demikian itu tidak dimaksudkan oleh sementara ulama dalam pengertian ayat di atas sebagai "hasil usaha yang baik."
Akan tetapi, kini telah muncul berbagai jenis usaha manusia yang menghasilkan pendapatan, baik secara langsung tanpa keterikatan dengan orang atau pihak lain seperti para dokter, konsultan, seniman, dan lain-lain, maupun yang disertai keterikatan dengan pemerintah atau swasta seperti gaji, upah, dan honorarium. Rasa keadilan dan hikmah adanya kewajiban zakat mengantar banyak ulama memasukkan profesi-profesi itu ke dalam pengertian "hasil usaha yang baik-baik."
Dengan demikian, mereka menyamakannya dengan zakat penghasilan atau perdagangan dan menetapkan persentase zakatnya sama dengan zakat perdagangan, yakni dua setengah persen dari hasil yang diterima setelah dikeluarkan segala biaya kebutuhan hidup yang wajar, dan sisa itu telah mencapai batas minimal dalam masa setahun, yakni senilai 85 gram emas murni.
Ada berbagai pendapat lain yang menganalogikan penghasilan dari profesi itu dengan zakat pertanian. Dalam hal ini, jika dia beroleh penghasilan senilai 653 kilogram hasil pertanian yang harganya paling murah, maka ketika itu juga dia harus menyisihkan lima atau sepuluh persen (tergantung pada kadar keletihan yang bersangkutan) dan tidak perlu menunggu batas waktu setahun.
Menurut hemat saya, pendapat pertama yang menyamakan zakat profesi dengan zakat perdagangan lebih bijaksana, karena hasil yang diterima biasanya berupa uang sehingga lebih mirip dengan perdagangan dan atau nilai emas dan perak. Demikian, wallahu a'lam.
(M Quraish Shihab)
Assalamualaikum Pak Ustadz. Dalam hukum Islam ada yang namanya zakat profesi. Yang saya ingin tanyakan apakah penghasilan dari gaji termasuk zakat profesi? Atau bagaimana pengenaan zakat atas gaji yang diterima setiap bulan? Wasalam.
(Arief, otoandung@gmail.com)
Jawab:
Penghasilan yang diperoleh seorang Mukmin dan yang sebagian darinya diperintahkan untuk dikeluarkan nafkahnya dibagi oleh al-Qur'an (QS al-Baqarah (2): 267) ke dalam dua bagian pokok: "hasil usaha yang baik-baik" dan "apa yang dikeluarkan Allah dari bumi," yakni hasil pertanian dan pertambangan.
Adapun yang dimaksud dengan "hasil usaha yang baik-baik", para ulama dahulu membatasinya pada hal-hal tertentu yang pernah ada di masa Rasulullah saw. dan yang ditetapkan oleh beliau sebagai yang harus dizakati. Inilah dahulu yang dimaksudkan dengan zakat penghasilan. Selebihnya, usaha manusia yang belum dikenal di masa Nabi dan sahabat beliau tidak termasuk yang harus dizakati. Jadi, yang demikian itu tidak dimaksudkan oleh sementara ulama dalam pengertian ayat di atas sebagai "hasil usaha yang baik."
Akan tetapi, kini telah muncul berbagai jenis usaha manusia yang menghasilkan pendapatan, baik secara langsung tanpa keterikatan dengan orang atau pihak lain seperti para dokter, konsultan, seniman, dan lain-lain, maupun yang disertai keterikatan dengan pemerintah atau swasta seperti gaji, upah, dan honorarium. Rasa keadilan dan hikmah adanya kewajiban zakat mengantar banyak ulama memasukkan profesi-profesi itu ke dalam pengertian "hasil usaha yang baik-baik."
Dengan demikian, mereka menyamakannya dengan zakat penghasilan atau perdagangan dan menetapkan persentase zakatnya sama dengan zakat perdagangan, yakni dua setengah persen dari hasil yang diterima setelah dikeluarkan segala biaya kebutuhan hidup yang wajar, dan sisa itu telah mencapai batas minimal dalam masa setahun, yakni senilai 85 gram emas murni.
Ada berbagai pendapat lain yang menganalogikan penghasilan dari profesi itu dengan zakat pertanian. Dalam hal ini, jika dia beroleh penghasilan senilai 653 kilogram hasil pertanian yang harganya paling murah, maka ketika itu juga dia harus menyisihkan lima atau sepuluh persen (tergantung pada kadar keletihan yang bersangkutan) dan tidak perlu menunggu batas waktu setahun.
Menurut hemat saya, pendapat pertama yang menyamakan zakat profesi dengan zakat perdagangan lebih bijaksana, karena hasil yang diterima biasanya berupa uang sehingga lebih mirip dengan perdagangan dan atau nilai emas dan perak. Demikian, wallahu a'lam.
(M Quraish Shihab)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar