Selasa, 27 September 2011

PENERAPAN ASAS ULTRA PETITUM PARTIUM TERKAIT HAK EX OFFICIO HAKIM

JUDUL: PENERAPAN ASAS ULTRA PETITUM PARTIUM TERKAIT HAK EX OFFICIO HAKIM (Studi Kasus di Pengadilan Agama Bukittinggi) A. Latar Belakang Lembaga peradilan dalam susatu Negara merupakan hal sangat strategis dan menentukan karena lembaga inilah yang bertindak untuk menyelesaikan segala sengketa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan menghukum orang-orang yang melanggar norma-norma dengan hukum yang telah diatur. Dengan adanya lembaga peradilan ini diupayakan masyarakat tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan pihak lain Dengan cara main hakim sendiri, tetapi hendaknya segala persoalan hukum yang timbul akibat pergaulan hidup masyarakat itu hendaknya dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan yang ada. Syariat Islam memandang masalah peradilan itu merupakan tugas pokok dalam menegakkan keadilan dan mempunyai kedudukan tinggi dalam penegakan hukum Islam. Lembaga peradilan diharapkan dapat menjadi tempat memancarkan sinar keadilan kepada seluruh masyarakat. Sebagimana tujuan utama dalam mendirikan pemerintahan Islam adalah untuk menegakkan keadilan baik dari peradilan yang terpisah dari pihak eksekutif ataupun sebaliknya. Dengan kata lain, pemerintahan Islam boleh jika penegakan keadilan ditangani secara kombinasi kekuasaan, seperti eksekutif dan yudikatif yang ditangani satu bagian sebagaimana pada periode awal pemerintahan Islam terdahulu. Di Indonesia terdapat 4 (empat) lingkungan peradilan, akan tetapi Konstitusi juga memberikan kesempatan untuk dibuatnya pengadilan khusus yang berada di bawah masing-masing badan peradilan tersebut. Berikut dibawah ini penjelasan dari masing-masing lingkungan peradilan beserta pengadilan khusus yang berada dibawahnya. Terdapat 4 (empat) lingkungan peradilan di Indonesia berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, antara lain sebagaimana disebutkan dibawah ini : 1. Lingkungan Peradilan Umum, meliputi sengketa perdata dan pidana. 2. Lingkungan Peradilan Agama, meliputi hukum keluarga seperti perkawinan, perceraian, dan lain-lain. 3. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, meliputi sengketa antar warga Negara dan pejabat tata usaha Negara. 4. Lingkungan Peradilan Militer, hanya meliputi kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh militer. Lingkungan Peradilan diatas tersebut memiliki struktur tersendiri yang semuanya bermuara kepada Mahkamah Agung (MA). Dibawah Mahkamah Agung terdapat Pengadilan Tinggi untuk Peradilan Umum dan Peradilan Agama di tingkat ibukota Provinsi. Disini, Pengadilan Tinggi melakukan supervisi terhadap beberapa Pengadilan Negeri, untuk Peradilan Umum dan Peradilan Agama ditingkat Kabupaten/Kotamadya Peradilan Agama adalah salah satu di antara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dikatakan Peradilan khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu yakni golong yang beragama Islam. Sebagiamana hukum perdata adalah mengatur tentang hak dan kewajiban antara seseorang dengan orang lain, sedangkan hukum acara perdata adalah mengatur tentang cara mewujudkan/ mempertahankan hukum perdata itu. Setiap orang memiliki hak prive (pribadi) nya sendiri untuk dapat mewujudkan/mempertahankan haknya yang mana bila ia merasa dirugikan oleh orang lain, sehingga ia dapat mempertahankan haknya. Untuk mewujudkan/mempertahankan haknya seseorang harus mengajukan keinginannya di muka pengadilan dengan cara mengajukan surat gugatan dan surat permohonan di muka pegadilan Agama bagi yang beragama Islam. Gugatan/permohonan dalam bahasa hukum Islam disebut ad da’wa. Kata ad da’wa ini dipergunakan pula sebagai tuntutan pidana. Dapat diketahui, da’wa perdata atau da’wa pidana tergantung Dengan konteks kalimat. Dalam tata hukum Indonesia isi surat gugatan secara garis besar terdiri dari tiga komponen, yaitu 1. Indentitas para pihak, 2. Fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah pihak, biasa disebut bagian “posita” (jamak) atau “positum” (tunggal) 3. Isi tuntutan yang biasa disebut bagian “petita” (jamak) “petitum” (tunggal). Setelah pengajuan surat gugatan dan surat permohonan telah terdaftar di pengadilan Agama maka para pihak akan dipanggil untuk dapat hadir di muka persidangan. Setelah tahap pembuktian berakhir maka majelis hakim akan bermusyawarah untuk membacakan putusannya. Dengan diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 1989 adalah adanya hukum acara yang positif dan unifikatif. Berdasarkan pasal 54 undang-undang tersebut, hukum acara yang diterapkan disamakan Dengan hukum acara yang berlaku untuk lingkungan peradilan umum yaitu Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Reglement tot Regeling van het Rechtwezen in de Guwesten Buiten en Madura, yang lebih popular dengan istilah RBg, dan ketentuan hukum formil (acara) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Bedanya dengan hukum acara di peradilan umum adalah ada penambahan ketentuan hukun acara yang ditetapkan tersendiri dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai norma hukum formil khusus mengenai pemeriksaan perkara cerai talak dn cerai gugat Dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata, asas-asas yang berlaku di lingkungan peradilan umum juga berlaku di lingkungan peradilan agama. Salah satu asas penting yang wajib diperhatikan adalah bahwa hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut. Asas inilah yang lazim dikenal sebagai asas ultra petitum partium. Hak tersebut telah diatur dalam pasal 189 ayat 3 RBg dan pasal 50 Rv, putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan disebut Ultra petita. Putusan yang melebihi petitum dianggap telah melampaui batas wewenang, meskipun hal yang demikian dengan itikat baik atau pun demi kepentingan umum. Ultra petita adalah penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau mememutus melebihi dari pada yang diminta. Ketentuan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) Ketentuan HIR merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia. Ultra petita dilarang, sehingga judec factie yang melanggar dengan alasan ”salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku” dapat mengupayakan kasasi (Pasal 30 UU MA), dan dasar upaya peninjauan kembali (Pasal 67 dan Pasal 74 ayat (1) UU MA). Di dalam hukum hukum perdata berlaku asas hakim bersifat pasif atau hakim ”tidak berbuat apa-apa”, dalam artian ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasanya ditentukan para pihak yang berperkara. Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan para pihak itu dapat membenarkan tuntutan hukum mereka. Ia tidak boleh menambah sendiri hal-hal yang lain, dan tidak boleh memberikan lebih dari yang diminta. Serta termuat dalam kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi perkara perdata pengadilan Agama yakni Mahkamah Agung: No. 09 K/AG/1994 Tanggal: 25 November 1994 mengenai Putusan melebihi yang diminta Kaidah Hukum : “Putusan Pengadilan Agama yang dilakukan PTA. Dapat dilibatkan apabila telah menyimpang jauh dari petitum atau apa yang dituntut oleh Pemohon Kasasi/Pemohon, yaitu telah melebihi apa yang dimohonkan.” Pada Kenyataannya yang terjadi di Pengadilan Agama Bukit Tinggi nomor Perkara 368/Pdt.G/2008/PA. Bkt telah terjadi Ultra Petitum Partium sehingga penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai problema tersebut. Sehubungan dengan uraian di atas, maka penulis mencoba mengangkat permasalahan ini sebagai skripsi dengan judul: ”PENERAPAN ASAS ULTRA PETITUM PARTIUM TERKAIT HAK EX OFFICIO HAKIM (Studi Kasus di Pengadilan Agama Bukittinggi)”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana penerapan asas Ultra Petitum Partium terkait hak Ex Officio hakim. 2. Bagaimana proses perkara pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Bukittinggi terkait Ultra Petitum Partium. 3. Sejauh mana pertimbangan majelis hakim terhadap Ultra Petitum Partium. 4. Apa akibat hukum yang timbul dari Ultra Petitum Partium dalam hukum acara (formil) perdata. C. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Adapun batasan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana penerapan asas Ultra Petitum Partium terkait hak Ex Officio hakim. b. Apa saja pertimbangan majelis hakim dalam menerapkan asas Ultra Petitum Partium terkait hak Ex Officio hakim. c. Apa akibat hukum yang timbul dari Ultra Petitum Partium terkait hak Ex Officio hakim. 2. Rumusan Masalah Perumusan masalah dalam suatu penelitian sangat penting karena merupakan pedoman yang mempermudah penelitian dalam membahas masalah yang akan diteliti, agar tujuan yang akan dicapai menjadi jelas, tegas, terarah dan dapat tercapai sesuai dengan yang diinginkan. Adapun masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah penerapan asas Ultra Petitum Partium terkait hak Ex Officio hakim, pertimbangan majelis hakim dalam menerapkan asas Ultra Petitum Partium terkait hak Ex Officio hakim, dan akibat hukum yang timbul dari Ultra Petitum Partium terkait hak Ex Officio hakim. D. Defenisi Operasional Dalam rangka memberikan gambaran awal dan untuk menghindari adanya pemahaman pemaknaan ganda yang berbeda dengan maksud penulis tentang penelitian ini, maka perlu kiranya dijelaskan beberapa poin penting dalam judul ini. Penerapan adalah proses, cara, perbuatan menerapkan sesuatu agar sesuai dengan asas-asas atau nilai-nilai. Asas Ultra Petitum Partium dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang diminta. Ultra petita menurut I.P.M.Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta. Hak ex officio memiliki pengertian karena jabatan. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa hak ex officio hakim adalah hak yang ada pada hakim yang penerapannya dilakukan karena jabatan demi terciptanya keadilan bagi masyarakat. Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berfungsi dan berperan menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum. E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Agar tidak menyimpang dari rumusan masalah yang diutarakan di atas, maka penulis mempunyai tujuan : 1. Untuk mengetahui penerapan asas Ultra Petitum Partium terkait hak Ex Officio hakim. 2. Untuk mengetahui pertimbangan majelis hakim dalam menerapkan asas Ultra Petitum Partium terkait hak Ex Officio hakim. 3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari Ultra Petitum Partium terkait hak Ex Officio hakim. Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah : 1. Sebagai bahan untuk mengetahui sejauh mana penerapan asas ultra petitum partium terkait hak ex officio hakim. 2. Dapat menambah kepustakaan dari penulis. 3. Sebagai proses penelitian ilmiah dan peningkatan wawasan ilmiah bagi penulis. 4. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi Hukum Perdata Islam Jurusan Syari’ah STAIN Batusangkar. F. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Dari penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian field reseach atau lapangan yang dilakukan di Pengadilan Agama Bukittinggi. 2. Metode Penelitian Adapun metode penelitian yang dilakukan di dalam penulisan skripsi ini adalah metode studi kasus, yaitu studi kasus di Pengadilan Agama Bukittinggi. 3. Sumber Data Adapun sumber data yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah: a. Sumber data Primer, yaitu sumber data utama dari data-data yang penulis peroleh di Pengadilan Agama Bukittinggi berupa keterangan-keterangan dari para hakim yang menyidangkan perkara Ultra Petitum Partium di Pengadilan Agama Bukittinggi. b. Sumber data Skunder, yaitu sumber data tambahan yang diperoleh dari buku-buku, berkas-berkas perkara dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan penelitian yang penulis bahas. 4. Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini, metode pengumpulan data yang penulis lakukan adalah: a. Wawancara, yaitu: menggali informasi dari narasumber, dalam hal ini adalah pihak majelis hakim Pengadilan Agama Bukittinggi yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tersebut. b. Telaah dokumen tentang perkara Ultra Petitum Partium di Pengadilan Agama Bukittinggi. 5. Analisis Data Data yang diperoleh secara deskriptis kualitatif, yaitu penafsiran terhadap data yang diperoleh untuk mendapatkan gambaran umum tentang masalah-masalah yang penulis bahas sehingga didapat sebuah kesimpulan yang bersifat khusus. G. Tinjauan Kepustakaan Dari hasil penelusuran penulis tentang skripsi ini maka penulis menemukan pambahasan yang ada kaitannya dengan pembahasan yang penulis bahas, adapun pembahasan tersebut adalah: Setelah Penulis menelusuri hasil penelitian terdahulu, Penulis belum melihat adanya yang membahas tentang “Penerapan Asas Ultra Petitum Partium terkait hak ex officio Hakim (Studi Kasus di Pengadilan Agama Bukittinggi).” Adapun buku-buku yang mendukung terhadap pembahasan ini diantaranya Hukum Acara Peradilan Agama oleh H. Roihan A. Rasyid, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan oleh H. Abdul Manan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi oleh H. Ahmad Kamil dan M. Fauzan, dan Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah Indonesia oleh M. Fauzan. Kemudian penulis tambahkan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berubungan dengan masalah Ultra Petitum Partium, Yurisprudensi dan Peraturan Mahkamah Agung H. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis membaginya dalam beberapa bagian, dengan perincian sebagai berikut: BAB I yang terdiri dari: Pendahuluan yang berisikan Latar belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Defenisi Operasional, Tujuan dan Kegunaan Penulisan, Metodologi Penelitian, Tinjauan Kepustakaan dan Sistematika Penulisan. Bab II, Landasan teori yang terdiri dari: a) Tinjauan umum tentang Hakim yang terdiri dari Peranan Hakim, Asas-asas hukum acara perdata, Kewenangan Hakim b) Tinjauan Umum tentang Ultra Petitum Partium yang terdiri dari Pengertian dan Pertimbangan Ultra Petitum Partium, Dasar Hukum Ultra Petitum Partium, bentuk putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim ketika terjadi Ultra Petitum Partium, nilai-nilai positif dan nilai-nilai negatif yang terdapat dari penggunaan Ultra Petitum Partium. BAB III yang terdiri dari hasil penelitian dan berisikan gambaran umum Pengadilan Agama Bukittinggi, penerapan asas Ultra Petitum Partium terkait hak Ex Officio hakim, pertimbangan majelis hakim dalam menerapkan asas Ultra Petitum Partium terkait hak Ex Officio hakim, dan akibat hukum yang timbul dari Ultra Petitum Partium terkait hak Ex Officio hakim. BAB IV merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran. OUT LINE BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Identifikasi Masalah C. Batasan dan Rumusan Masalah D. Definisi Operasional E. Tujuan Penelitian F. Kegunaan Penelitian G. Tinjauan Kepustakaan H. Metodologi Penelitian I. Sistematika Penulisan BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan umum Hakim 1. Peranan Hakim 2. Asas-asas Hukum Acara Perdata 3. Kewenangan Hakim B. Tinjauan Umum Ultra Petitum Partium 1. Pengertian dan Pertimbangan Ultra Petitum Partium, 2. Dasar Hukum Ultra Petitum Partium, 3. Bentuk putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim ketika terjadi Ultra Petitum Partium, 4. Nilai-nilai positif dan nilai-nilai negatif yang terdapat dari Ultra Petitum Partium. BAB III HASIL PENELITIAN A. Gambaran umum Pengadilan Agama Bukittinggi, B. Penerapan asas Ultra Petitum Partium terkait hak Ex Officio hakim, C. Pertimbangan majelis hakim dalam menerapkan asas Ultra Petitum Partium terkait hak Ex Officio hakim, D. Akibat hukum yang timbul dari Ultra Petitum Partium terkait hak Ex Officio hakim. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran

Filsafat Hukum Islam

BAB I PENDAHULUAN Flsafat hukum di masa Hindia Belanda diistilahkan dengan Wijsbegeerte van recht. Istilah tersebut menurut Juhaya S. Pradja (1997: 9) identik dengan istilah rechtsphilosophi yang banyak digunakan oleh penulis filsafat hukum Belanda. Di Perancis, filsafat hukum disebut dengan istilah philosophie du droit . Adapun di Negara-negara yang menggunakan bahasa pengantar dikenal dengan istilah phillosophi of law, legal philosophy, legal theory dan istilah-istilah seperti yurisprudence, philosophi of right, dan theory of justice. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Pengertian Filsafat Hukum Islam terdiri dari tiga kata, yaitu filsafat, hukum dan Islam. Ketiga kata itu memiliki defenisi masing-masing. Kata filsafat secara bahasa berasal dari kata Yunani Philosophia yang berarti cinta kebijaksanaan (philen berarti cinta, dan Sophia berarti kebijaksanaan). Ada yang berpendapat bahwa filsafat berasal dari kata philos yang memiliki arti keinginan dan Sophia memiliki arti hikmah, kebijaksanaa. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata phila yang memiliki arti mengutamakan, lebih menyukai Sophia yang memiliki arti hikmah, kebijaksanaan. Jadi, berfilsafat berarti mencintai kebijaksanaan. Pelakunya disebut philosophos dalam bahasa Arab disebut dengan failasuf atau al-hakim. Kata filsafat tidak pernah disebut dalam al-Qur’an, kecuali dengan kata yang memiliki arti yang sama yakni al-Hikmah sebagaimana firman Allah:                    “Allah menganugerahkan Al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)” Sedang orang-orang yang berakal sehat (ulul albab) adalah yang memiliki ciri failasuf sebagaimana firman Allah:        •                         •  “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.” Dari kedua ayat ini dapat diambil pengertian bahwa kata hikmah memiliki arti kebijaksanaan yang banyak (kebijaksanaan) dan orang bijaksana disebut al-hakim dan disebut juga dengan ulul albab. Al-hakim adalah orang yang memiliki kemampuan berdzikir dan berpikir secara mendalam dan radikal serta sistematis sehingga sampai pada pandangan bahwa semua yang diciptakan, diperintahkan dan dilarang oleh Allah ada guna dan manfaatnya bagi kehidupan manusia. Hukum adalah pengetahuan tentang pemikiran mendalam, sistematis, logis dan radikal tentang berbagai aturan yang berlaku dalam kehidupan manusia baik itu aturan bermasyarakat maupun aturan bernegara. Dalam hukum dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan hakikat hukum, sumber hukum, dan manfaat atau fungsi hukum dalam masyarakat. Sebagai sistem hukum, ia memiliki beberapa istilah kunci yang perlu dipahami lebih dulu, sebab kadang kala membingungkan kalau tidak diketahui persis maknanya. Istilah-istilah itu adalah: 1. Hukum adalah peraturan-peraturan tentang perbuatan dan tingkah laku manusia di dalam lalu lintas hidup. Nasrudin Razak (2000:210) mengatakan bahwa para sarjana hukum itu mengetahui segala-galanya, kecuali defenisi hukum itu sendiri, karena sampai sekarang, belum ada kesepakatan dalam merumuskan suatu defenisi yang tepat dan dapat diterima oleh semua pihak tentang apa yang disebut “hukum” itu. Dalam Islam hukum adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu (itsbatu syai’in ala syai’in). secara ringkas ia berarti ketetapan. Hans Kelsen (2006:3) mendefenisikan hukum sebagai suatu tatanan perbuatan manusia. Tatanan adalah suatu system aturan. Hukum bukanlah, seperti yang terkadang dikatakan, sebuah peraturan. Hukum adalah seperangkat peraturan yang mengandung semacam kesatuan yang dipahami melalui sebuah sistem. Oleh karena itu, hukum bukan hanya peraturan dan perbuatan manusia serta semata-mata tatanan dan tuntutan. Hukum di dalamnya terdapat peraturan untuk ditaati dengan cara melaksanakan atau meninggalkan perbuatan tertentu demi kemaslahatan hidup manusia. 2. Al-Hukm sebagai kata arab yang dalam bahasa Indonesia disebut hukum tanpa u antara k dan m yang memiliki pengertian norma, kaidah, tolak ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku manusia atau benda. dalam sistem hukum Islam ada lima hukm yang dipakai sebagai patokan untuk mengukur perbuatan manusia baik di bidang ibadah maupun di bidang muamalah. Kelima jenis al hukm tersebut, disebut dengan al ahkam al khamsah yaitu: jaiz atau al ibahah, makruh, sunnah, wajib, dan haram. Penggolongan hukum yang lima tersebut dalam kepustakaan hukum Islam disebut juga dengan hukum taklifi. 3. Syari’at yang disebut juga dengan syariah secara harfiah adalah jalan kesumber (mata) air yakni jalan lurus yang diikuti oleh setiap orang islam. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, baik berupa larangan maupun suruhan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. 4. Fiqih setelah diindonesiakan artinya paham atau pengertian. Kalau dihubungkan dengan perkataan ilmu maka dapat dirumuskan, ilmu fiqih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat dalam Al-qur’an dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadits. Dengan kata lain, ilmu fiqih selain rumusan di atas, adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-qur’an dan sunnah Nabi Muhammad untuk diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat akalnya dan berkewajiban melaksanakan hukum Islam. Flsafat hukum di masa Hindia Belanda diistilahkan dengan Wijsbegeerte van recht. Istilah tersebut menurut Juhaya S. Pradja (1997: 9) identik dengan istilah rechtsphilosophi yang banyak digunakan oleh penulis filsafat hukum Belanda. Di Perancis, filsafat hukum disebut dengan istilah philosophie du droit . Adapun di Negara-negara yang menggunakan bahasa pengantar dikenal dengan istilah phillosophi of law, legal philosophy, legal theory dan istilah-istilah seperti yurisprudence, philosophi of right, dan theory of justice. Filsafat hukum Islam adalah kajian filosofis tentang hakikat hukum Islam, sumber asal muasal hukum Islam dan prinsip penerapannya, serta fungsi dan manfaat hukum Islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya. Juhaya S. Pradja menyatakan bahwa Filsafat Hukum Islam pengetahuan menjawab pertanyaan filosofis, apa yang dimaksud dengan hukum Islam? Mengapa harus taat kepada hukum Islam? Apakah keadilan untuk baik-buruknya hukum Islam? Setiap pertanyaan tersebut harus dijawab secara kontemplatif, sistematis, logis serta radikanl. Dengan demikian, yang dimaksud dengan filsafat hukum Islam adalah setiap kaidah, asas atau mabda’, aturan-aturan pengendalian masyarakat pemeluk agama Islam. Kaidah-kaidah itu dapat berupa ayat Al-Qur’an, hadits, pendapat sahabat dan tabi’in, ijma’ ulama, fatwa lembaga keagamaan. Filsafat hukum Islam diartikan juga dengan istilah hikmah at-tasyri. Dari pengertian lain juga mengatakan bahwa filsafat hukum Islam merupakan pengetahuan tentang rahasia-rahasia hukum yang digali secara filosofis, baik dengan pendekatan ontologisme, epistemologis maupun aksiologis. Filsafat hukum Islam dapat diartikan pula sebagai pengetahuan tentang hakikat hukum Islam, yaitu pengkajian mendalam tentang asal muasal hukum Islam, proses pencarian rahasia-rahasia dan illat hukum serta tujuan diberlakukannya hukum Islam sebagai prinsip dan dasar-dasar pijakan untuk berprilaku. Usaha yang dilakukan dalam pemikiran mendalam tentang hakikat, sumber, dsan tujuan hukum Islam tidak sebatas menggunakan semata-mata rasio, tetapi memasukkan pendekatan kewahyuan dengan rasio, sehingga ada keseimbangan metodologis untuk mencapai kebenaran tertinggi. Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian filsafat hukun islam dapat dirumuskan sebagai berfikir secara mendalam, radikal, dan sistematis untuk menemukan dan menentukan makna dan tujuan hukum (teleology hukum) yang berupa keindahan, kebenaran, kebaikan, dan kemaslahatan yang terkandung dalam hukum islam baik materi, penetapan, maupun penerapannya. B. Ruang Lingkup Hukum Islam Hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bagian bila mengikuti sistematika hukum Barat yakni Hukum Privat (perdata) dan Hukum Publik. Hukum Pedata Islam adalah : 1. Munakahat yakni hukum yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian dan segala akibatnya. Hukum perdata bidang munakahat yang disebut juga dengan hukum keluarga dalam Islam inilah yang akan dibahas sisi filsafatnya, 2. Wiratsah yakni hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. Hukum kewarisan Islam disebut juga dengan Fara’id, 3. Mu’amalat yakni hukum Islam dalam arti khusus, mengatur masalah kedendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam masalah jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan, hukum bisnis islam, dan sebagainya. Hukum Publik Islam adalah: 1. Jinayat yakni hukum islam yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan yang diancam dengan hukum baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Al-Qur’an dan Assunnah. Sadengkan jarimah ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya. 2. Al ahkam al sulthaniyah yakni hukum islam yang membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala Negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara, pajak, dan sebagainya. 3. Siyar yakni hukum islam yang mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan pemeluk agama dan Negara lain. 4. Mukhashamat mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara. C. Manfaat Filsafat Hukum Islam Mempelajari filsafat hukum islam banyak manfaatnya, antara lain: 1. Menjadi tahu mengenai pengertian tentang filasafat hukum islam dan objek kajiannya. 2. menjadikan filsafat sebagai pendekatan dalam menggali hakikat, sumber, dan tujuan hokum islam. 3. Dapat membedakan kajian ushul fiqh dengan filsaafat terhadap hukum islam. 4. Mendudukkan filsafat hukum islam sebagai salah satu bidang kajian yang penting dalam memahami sumber hukum islam yang berasal dari wahyu maupun hasil ijtihad para ulama. 5. Menemukan rahasia-rahasia syariat diliar maksud lahiriahnya. 6. Memahami illat hukum sebagai bagian dari pendekatan analitis tentang berbagai hak yang membutuhkan jawaban hukmiahnya sehingga pelaksanaan hukum islam merupakan jawaban terhadap situasi dan kondisi yang terus berubah dinamis. 7. Membantu mengenali unsur-unsur yang mesti dipertahankan sebagai kemapanan dan unsur-unser yang menerima perubahan sesuai dengan tuntunan situasional (Miftahul Huda, 2006:14). 8. Menolak pandangan bahwa hukum islam sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan dalam masyarakat modern sekarang ini. 9. Memberikan argumentasi yang kuat dan kokoh bahwa bila hukum islam diterapkan dalam suatu masyarakat maka mereka akan dapat merasakan kebenaran, kebaikan, keadilan, kesamaan, dan kemaslahatan dalam hidup di dunia ini. 10. Memberikan jawaban bahwa hukum islam adalah hukum yang terbaik dan mamapu memberikan jawaban terhadap perkembangan zaman karena hukum islam adalah hukum yang solihun li kulli al-zaman wa al-makan. BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Filsafat hukun Islam dapat dirumuskan sebagai berfikir secara mendalam, radikal, dan sistematis untuk menemukan dan menentukan makna dan tujuan hukum (teleology hukum) yang berupa keindahan, kebenaran, kebaikan, dan kemaslahatan yang terkandung dalam hukum islam baik materi, penetapan, maupun penerapannya. 2 Saran Dalam makalah ini masih ada kesalahan-kesalahan dan kekurangan kekurangan yang harus di perbaiki. Untuk itu penulis masih membutuhkan saran-saran ataupun kritika-kritikan yang dapat membangun kepada pembuatan makalah yang lebih baik DAFTAR PUSTAKA Ahmad Saebani, Beni, 2007, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia Tamrin, Dahlan, 2007, Filsafat Hukum Islam, Malang: UIN Malang Press Bertens, K, 1994, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius