Jumat, 28 Oktober 2011

ANALISIS ASAS ULTRA PETITUM PARTIUM DALAM PERKARA CERAI TALAK (Studi Kasus di Pengadilan Agama Bukittinggi)


JUDUL: ANALISIS ASAS ULTRA PETITUM PARTIUM DALAM PERKARA CERAI TALAK (Studi Kasus di Pengadilan Agama Bukittinggi)

A.     Latar Belakang
Keberadaan lembaga peradilan dalam suatu Negara merupakan hal sangat strategis dan menentukan karena lembaga inilah yang bertindak untuk menyelesaikan segala sengketa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dan menghukum orang-orang yang melanggar norma-norma dengan hukum yang telah diatur. Dengan adanya lembaga peradilan ini diupayakan masyarakat tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan pihak lain dengan cara main hakim sendiri, tetapi hendaknya segala persoalan hukum yang timbul akibat pergaulan hidup masyarakat itu dapat diselesaikan melalui lembaga peradilan yang ada.
Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dalam pasal 10 ayat (1) menyebutkan: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
1.   Peradilan Umum.
2.   Peradilan Agama.
3.   Peradilan Militer; dan
4.   Peradilan Tata Usaha Negara.[1]


1
 
Sebagaimana hukum perdata adalah hukum/aturan yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara seseorang dengan orang lain, sedangkan hukum acara perdata adalah mengatur tentang cara mewujudkan/ mempertahankan hukum perdata itu. Setiap orang memiliki hak prive (pribadi) nya sendiri untuk dapat mewujudkan/mempertahankan haknya apabila ia dirugikan oleh orang lain, sehingga ia dapat mempertahankan haknya.
Erfaniah Zuhriah mengatakan bahwa:
Peradilan Agama adalah salah satu di antara peradilan khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan peradilan khusus karena pengadilan agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini peradilan Agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu saja, tidak termasuk bidang pidana dan pula hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu tidak mencakup seluruh perdata Islam.[2]

Untuk mewujudkan/mempertahankan haknya seseorang harus mengajukan keinginannya di muka pengadilan dengan cara mengajukan surat gugatan dan surat permohonan di muka pegadilan Agama bagi yang beragama Islam.
Gugatan/permohonan dalam bahasa hukum Islam disebut ad da’wa. Kata ad da’wa ini dipergunakan pula sebagai tuntutan pidana. Dapat diketahui, da’wa perdata atau da’wa pidana tergantung dengan konteks kalimat.
Dalam tata hukum Indonesia isi surat gugatan secara garis besar terdiri dari tiga komponen, yaitu[3]
1.        Indentitas para pihak,
2.        Fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah pihak, biasa disebut bagian “posita” (jamak) atau “positum” (tunggal)
3.        Isi tuntutan yang biasa disebut bagian “petita” (jamak) “petitum” (tunggal).

Sebagaimana tugas pokok seorang hakim sebagai penegak hukum adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam menjalankan tugasnya, hakim harus memperhatikan tiga unsur pokok dari tujuan hukum, yakni kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Artinya setiap putusan hakim senantiasa mencerminkan ketiga unsur pokok tersebut secara proposional seimbang.
Dengan diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 1989 terwujudlah hukum acara yang positif dan unifikatif.[4] Berdasarkan pasal 54 undang-undang tersebut, hukum acara yang diterapkan disamakan dengan hukum acara yang berlaku untuk lingkungan peradilan umum yaitu Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan Reglement tot Regeling van het Rechtwezen in de Guwesten Buiten en Madura, yang lebih popular dengan istilah RBg, dan ketentuan hukum formil (acara) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Bedanya dengan hukum acara di peradilan umum adalah ada penambahan ketentuan hukum acara yang ditetapkan tersendiri dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai norma hukum formil khusus mengenai pemeriksaan perkara cerai talak dan cerai gugat[5]. Cerai talak diajukan oleh suami sebagai pemohon dan isteri sebagai termohon, sedangkan cerai gugat diajukan oleh isteri sebagai penggugat dan suaminya sebagai tergugat. Sekalipun pada cerai talak, para pihak disebut sebagai pemohon dan termohon, tetapi tidaklah berati bahwa hal tersebut di kategorikan  voluntair murni, karena pada hakikatnya perkara tersebut merupakan sengketa perkawinan antara suami isteri. Karena hal tersebut telah di kemukakan oleh Mahkamah Agung Repulik Indonesia melalui Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1990 Tanggal 3 April 1990 yang isinya mengatakan bahwa pada dasarnya cerai talak adalah merupakan sengketa perkawinan antara suami dan isteri.[6]
Dalam memeriksa dan mengadili perkara perdata, asas-asas yang berlaku di lingkungan peradilan umum juga berlaku di lingkungan peradilan agama. Salah satu asas penting yang wajib diperhatikan adalah bahwa hakim wajib mengadili semua bagian tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut. Asas inilah yang lazim dikenal sebagai asas ultra petitum partium.
Ultra petita adalah penjatuhan putusan oleh hakim atas perkara yang tidak dituntut atau memutus melebihi dari pada yang diminta. Ketentuan ultra petita diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta padanannya dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg yang melarang seorang hakim memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) Ketentuan HIR merupakan ketentuan yang berlaku di pengadilan perdata di Indonesia.
Didalam  asas yang digariskan dalam pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR, pasal 189 ayat (2) dan (3) Rbg[7], serta pasal 50 Rv bahwa hakim wajib mengadili seluruh bagian gugatan. Asas ini menghendaki bahwa hakim dalam putusan harus secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan.[8] Hakim tidak diperbolehkan hanya memeriksa dan memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya. Dan apabila suatu putusan, hakim hanya mempertimbangkan dan memutus gugatan konvensi saja padahal tergugat mengajukan rekovensi, maka cara yang demikian juga bertentangan dengan asas yang digariskan pasal 178 ayat (3) HIR.
Dan asas lain yang digariskan  dalam pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR, pasal 189 ayat (2) dan (3) Rbg, serta pasal 50 Rv, adalah bahwa hakim dalam memberikan putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan. Larangan ini disebut ultra petitum partium. Menurut Harahap[9], hakim yang mengabulkan  tuntutan melebihi posita maupun petitum dianggap telah melampaui batas wewenang atau Ultra Vires, meskipun hal yang demikian dengan itikat baik (good faith)ataupun demi kepentingan umum (public interest).
Ultra petita dilarang, sehingga judec factie yang melanggar dengan alasan ”salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku” dapat mengupayakan kasasi (Pasal 30 UU MA), dan dasar upaya peninjauan kembali (Pasal 67 dan Pasal 74 ayat (1) UU MA). Putusan judex facti yang didasarkan pada petitum subsider yang berbentuk ex aequo et bono dapat dibenarkan asal masih dalam kerangka yang sesuai dengan inti petitum primair. Akan tetapi, apabila petitum primair dan subsider masing-masing dirinci satu persatu, tindakan hakim yang mengabulkan sebagian petitum primair dan sebagian lagi petitum subsider, maka tindakan demikian dianggap melampaui batas wewenang dan karenanya tidak dibenarkan.[10] Hal ini ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 882 K/Sip/1974 tanggal 24 April 1976.
Hakim di dalam hukum acara perdata menurut HIR harus bersikap aktif dan harus menjatuhkan putusan seadil-adilnya sesuai dengan kebenaran dan sungguh-sungguh dalam menyelesaikan perkara secara tuntas. Dengan demikian, pengabulan terhadap sesuatu yang sama sekali tidak di ajukan dalam petitum, nyata-nyata telah melanggar asas Ultra Petitum Partium dan terhadap putusan seperti itu harus dibatalkan. Sama halnya dengan putusan pengadilan yang didasarkan atas pertimbangan yang menyimpang dari dasar gugatan, menurut putusan Mahkamah Agung Nomor 372 K/Sip/1970 tanggal 1 September 1971, harus dibatalkan.[11]
Berdasarkan pasal 89 Rbg dan pasal 19 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman tentang asas yang harus ditegakkan dalam merumuskan putusan sebagai berikut:

1.      Memuat dasar yang jelas dan rinci
2.      Wajib mengadili seluruh bagian gugatan
3.      Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan
Serta termuat dalam kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi perkara perdata pengadilan Agama yakni Mahkamah Agung: No. 09 K/AG/1994 Tanggal: 25 November 1994 mengenai Putusan melebihi yang diminta
Kaidah Hukum :
“Putusan Pengadilan Agama yang dilakukan PTA. Dapat dilibatkan apabila telah menyimpang jauh dari petitum atau apa yang dituntut oleh Pemohon Kasasi/Pemohon, yaitu telah melebihi apa yang dimohonkan.”[12]

Pada Kenyataannya yang terjadi di Pengadilan Agama Bukittinggi nomor Perkara 369/Pdt.G/2008/PA. Bkt telah terjadi Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak yang mana hal tersebut dalam mengenai harta bersama yang dibagi 1/3 kepada pemohon, 1/3 kepada termohon dan 1/3 bagian untuk keempat anak pemohon dan termohon, yang mana hal tersebut tidak dicantumkan dalam tuntutan termohon serta tidak ada disinggung di dalam konvensi dan rekovensi, sehingga penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai problema tersebut.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka penulis mencoba mengangkat permasalahan ini sebagai skripsi dengan judul: ”ANALISIS ASAS ULTRA PETITUM PARTIUM DALAM PERKARA CERAI TALAK (Studi Kasus di Pengadilan Agama Bukittinggi)”
B.     Identifikasi Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut:
1.      Bagaimana penerapan asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam Perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA.
2.      Apa dasar hukum hakim melebihi asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam Perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA.
3.       Sejauh mana pertimbangan majelis hakim menerapkan asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam Perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA.
4.      Apa akibat hukum yang timbul dari asas Ultra Petitum Partium perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam Perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA.

C.     Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.       Bagaimana penerapan asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam Perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA.
b.      Apa dasar hukum hakim menerapkan asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam Perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA.
c.       Sejauh mana pertimbangan majelis hakim menerapkan asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam Perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA.
d.      Apa akibat hukum yang timbul dari asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama nomor Perkara 369/Pdt.G/2008/PA.
2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian sangat penting karena merupakan pedoman yang mempermudah penelitian dalam membahas masalah yang akan diteliti, agar tujuan yang akan dicapai menjadi jelas, tegas, terarah dan dapat tercapai sesuai dengan yang diinginkan.
Adapun masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah Bagaimana penerapan asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam Perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA, Apa dasar hukum hakim menerapkan asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam Perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA, Sejauh mana pertimbangan majelis hakim yang menerapkan asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam Perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA, Apa akibat hukum yang timbul dari asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam Perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA.

D.    Defenisi Operasional
Dalam rangka memberikan gambaran awal dan untuk menghindari adanya pemahaman ganda dengan maksud penulis tentang penelitian ini, maka perlu kiranya dijelaskan beberapa poin penting dalam judul ini.
Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yg sebenarnya (sebab musabab, duduk perkaranya, dsb); atau penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yg tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Dan menyelidiki dng meng-uraikan bagian-bagiannya.[13] Yang penulis maksud disini meneliti mengenai perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama yang melebihi asas Ultra Petitum Partium.
Asas Ultra Petitum Partium dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang diminta. Ultra petita menurut I.P.M.Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta.[14]
Cerai talak adalah gugatan yang diajukan oleh suami sebagai pemohon dan isteri sebagai termohon, yang mana maksud penulis ialah  dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA.

E.     Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Agar tidak menyimpang dari rumusan masalah yang diutarakan di atas, maka penulis mempunyai tujuan :
  1. Untuk mengetahui penerapan asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama
  2. Untuk mengetahui dasar hukum hakim terhadap asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama.
  3. Untuk mengetahui pertimbangan majelis hakim yang melebihi asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama.
  4. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama.
Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah :
  1. Sebagai bahan untuk mengetahui sejauh mana penerapan asas ultra petitum partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama.
  2. Dapat menambah kepustakaan dari penulis.
  3. Sebagai proses penelitian ilmiah  dan peningkatan wawasan ilmiah bagi penulis.
  4. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Program Studi Hukum Perdata Islam Jurusan Syari’ah STAIN Batusangkar.

F.      Metodologi Penelitian
1.      Jenis Penelitian
Dari penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian field reseach atau lapangan yang dilakukan di Pengadilan Agama Bukittinggi.
2.      Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang dilakukan di dalam penulisan skripsi ini adalah metode studi kasus, yaitu studi kasus di Pengadilan Agama Bukittinggi terhadap perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA.
3.      Sumber Data
Adapun sumber data yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah:
a.      Sumber data Primer, yaitu sumber data utama dari data-data yang penulis peroleh di Pengadilan Agama Bukittinggi berupa keterangan-keterangan dari para hakim yang menyidangkan perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA, yang menyebabkan terjadinya ultra petitum partium.
b.      Sumber data Skunder, yaitu sumber data tambahan yang diperoleh dari buku-buku, berkas-berkas perkara dan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan penelitian yang penulis bahas.
4.      Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, metode pengumpulan data yang penulis lakukan adalah:
a.       Wawancara, yaitu: menggali informasi dari narasumber, dalam hal ini adalah pihak majelis hakim Pengadilan Agama Bukittinggi yang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tersebut.
b.      Telaah dokumen tentang perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA di Pengadilan Agama Bukittinggi.
5.      Analisis Data
Data yang diperoleh secara deskriptis kualitatif, yaitu penafsiran terhadap data yang diperoleh untuk mendapatkan gambaran umum tentang masalah-masalah yang penulis bahas sehingga didapat sebuah kesimpulan yang bersifat khusus.

G.    Tinjauan Kepustakaan
Dari hasil penelusuran penulis tentang skripsi ini maka penulis menemukan pambahasan yang ada kaitannya dengan pembahasan yang penulis bahas, adapun pembahasan tersebut adalah:
Setelah Penulis menelusuri hasil penelitian terdahulu, Penulis menemukan di UIN Sunan Kalijaga yang berjudul “Penerapan Asas Ultra Petitum Partium Terkait Hak Ex Officio Hakim dalam Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama Yogyakarta Tahun 2006-2007” yang diteliti oleh Ari Triyanto NIM: 01350747, Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Persamaan dari penelitian ini, sama-sama membahas mengenai Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak, namun perbedaanya dengan penelitian ini ialah yang pertama tempatnya berbeda, kedua subyek yang berperkara beda, ketiga penelitian ini lebih memfokuskan mengenai harta bersama dibagi 3.  
Adapun buku-buku yang mendukung terhadap pembahasan ini diantaranya Hukum Acara Peradilan Agama oleh H. Roihan A. Rasyid, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan oleh H. Abdul Manan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi oleh H. Ahmad Kamil dan M. Fauzan, dan Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah Indonesia oleh M. Fauzan.
Kemudian penulis tambahkan dengan  Peraturan Perundang-undangan, Yurisprudensi dan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) yang berhubungan dengan masalah Ultra Petitum Partium.

H.    Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis membaginya dalam beberapa bagian, dengan perincian sebagai berikut:
BAB I yang terdiri dari: Pendahuluan yang berisikan Latar belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Defenisi Operasional, Tujuan dan Kegunaan Penulisan, Metodologi Penelitian, Tinjauan Kepustakaan dan Sistematika Penulisan.
Bab II, Landasan teori yang terdiri dari: a) Tinjauan umum tentang Hakim, Kewenangan Hakim dan asas-asas hukum acara perdata b) Tinjauan Umum tentang Ultra Petitum Partium yang terdiri dari Pengertian dan Pertimbangan Ultra Petitum Partium, Dasar Hukum Ultra Petitum Partium, bentuk putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim ketika terjadi Ultra Petitum Partium, nilai-nilai positif dan nilai-nilai negatif yang timbul dari penggunaan Ultra Petitum Partium.
BAB III yang terdiri dari hasil penelitian dan berisikan gambaran umum Pengadilan Agama Bukittinggi, Bagaimana penerapan asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam Perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA, Apa dasar hukum hakim melebihi asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama nomor Perkara 369/Pdt.G/2008/PA, Sejauh mana pertimbangan majelis hakim terhadap asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama nomor Perkara 369/Pdt.G/2008/PA, Apa akibat hukum yang timbul dari asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam Perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA.
BAB IV merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.













OUT LINE

BAB I             PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
B.     Identifikasi Masalah
C.     Batasan dan Rumusan Masalah
D.     Definisi Operasional
E.      Tujuan Penelitian
F.      Kegunaan Penelitian
G.     Tinjauan Kepustakaan
H.     Metodologi Penelitian
I.        Sistematika Penulisan

BAB II            LANDASAN TEORI
A.     Tinjauan umum Hakim
1.      Peranan Hakim
2.      Kewenangan Hakim
3.      Asas-asas Hukum Acara Perdata
B.       Tinjauan Umum Ultra Petitum Partium
1.    Pengertian Ultra Petitum Partium,
2.    Dasar Hukum Ultra Petitum Partium,
3.    Bentuk putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim ketika terjadi Ultra Petitum Partium,
4.    Nilai-nilai positif dan nilai-nilai negatif yang terdapat dari Ultra Petitum Partium.
BAB III          HASIL PENELITIAN
A.     Gambaran umum Pengadilan Agama Bukittinggi,
1.    Penerapan asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam Perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA.
2.    Apa dasar hukum hakim menerapkan asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam Perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA.
3.    Sejauh mana pertimbangan majelis hakim menerapkan asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama dalam Perkara nomor 369/Pdt.G/2008/PA.
4.    Apa akibat hukum yang timbul dari asas Ultra Petitum Partium dalam perkara cerai talak mengenai harta bersama nomor Perkara 369/Pdt.G/2008/PA.

BAB IV           PENUTUP
A.     Kesimpulan
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA





DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Al Yasa “Ihwal Perceraian di Indonesia Perkembangan Pemikiran dari Undang-Undang Perkawinan Sampai Kompilasi Hukum Islam”, Mimbar Hukum, Volume Nomor 41 Maret-April 1999.

Bisri, Cik Hasan, 1999, Komplikasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Harahap Yahya, 2007, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafindo

Kamil, Ahmad, 2004, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Jakarta: Kencana

Manaf, Abdul, 2008, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Bandung: Mandar Maju

Mertokusumo, Sudikno, 1993, Hukum Acra Perdata Indonesia, Yogyakarta:  Liberty

Ranuhandoko, I.P.M, 2000, Terminologi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika

Rasyid, Roihan. A, 2006, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa

Zuhriah, Erfaniah, 2008, Peradilan Agama di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, Malang: UIN Malang Press


[1] Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 8
[2] Ibid, h.15
[3] H. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2006), h . 64
[4] Cik Hasan Bisri, Komplikasi Hukum Islam dan Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 29
[5] Ibid, h. 30
[6] Al Yasa Abubakar, “Ihwal Perceraian di Indonesia Perkembangan Pemikiran dari Undang-Undang Perkawinan Sampai Kompilasi Hukum Islam”, Mimbar Hukum, Volume Nomor 41 Maret-April 1999. dan Abdul Manaf, 2008, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Mandar Maju, Bandung, h. 440.
[7] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acra Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), h. 186
[8] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafindo, 2007), h. 802
[9] Ibid., h. 801
[10]  Ibid., h. 802
[11]  Ibid., h. 803
[12] H. Ahmad Kamil, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 116
[13] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008) h. 78-79
[14] I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 522.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar